Tawuran, baik yang dilakukan oleh pelajar, mahasiswa, maupun antar kelompok masyarakat, bisa kita saksikan setiap hari di berita criminal di tv dan kita baca pula di media cetak setiap hari. Bahkan, tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah orang yang ingin menyampaikan aspirasinya, lebih sering berujung pada keributan, dan anarkisme. Bahkan, beberapa minggu lalu, seorang mahasiswa bernama Sondang sampai melakukan aksi bakar diri hingga ia tewas. Padahal, satu nyawa pun begitu berharga untuk membangun negeri ini.
Remaja kian dekat dengan pornografi dan porno aksi, hingga mereka kian jauh dari agama. Narkoba menjadi kebutuhan dan tempat pelarian penyelesaian masalah, padahal narkoba bukan tempat penyelesaian masalah, melainkan menambah masalah. Narkoba pula yang merusak akal mereka, padahal akal adalah inti dari kemuliaan manusia[1].
Kekerasan dalam keluarga pun sudah tak perlu di lihat di tv atau membacanya di koran. Dalam satu hari, saya bisa menyaksikan tiga peristiwa sekaligus di sekitar rumah saya. Pertama, kisah seorang anak yang dikejar-kejar oleh ayahnya untuk di siksa karena ia meminta ayahnya untuk sekedar tinggal di rumah sesaat saja. Wajah lebam dan tangis sudah tentu ada. Padahal usianya baru menginjak kelas 5 SD. Kedua, pemukulan dan penyiksaan oleh seorang kakak terhadap adiknya, mungkin ya sedikit wajar karena sang adik pulang malam dan dalam keadaan mabuk. Ketiga, keributan yang amat sangat di lapangan bola kecil di depan rumah dan bukan anak-anak yang melakkukannya, melainkan orang dewasa yang sudah mengalami pendidikan.
Fenomena di atas memperlihatkan keadaan yang kian jauh dari nilai-nilai luhur bangsa dan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, yang seharusnya religious dan sopan. Bahkan perwujudan tingkah laku individu, kelompok, atau segolongan orang ini memperlihatkan penyimpangan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, bahkan Pancasila dan UUD 1945 yang menginginkan perdamaian abadi.
Penting kiranya untuk menyebutkan karakteristik suatu bangsa yang mendukung keberlangsungan suatu Negara dan agama yang dianutnya. Hal ini dikarenakan agama diharapkan menjadi problem solver terhadap situasi yang diakibatkan oleh modernitas sedangkan di sisi lain, konflik antar agama bahkan intra agama belum berhasil diselesaikan. [2] Bahkan sikap radikalisme muncul sejak abad pertama Hijriyah oleh kaum Khawarij[3] hingga kini kita bisa melihat sikap-sikap radikalisme itu bertebaran di negeri kita, dengan aksi terror dan penculikan yang tiada ujungnya.
Pencerminan perilaku-perilaku ini telah menggagalkan tujuan pendidikan nasional kita yang menginginkan berkembangnya potensei peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi waga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. [4]
Upaya penanaman nilai-nilai karakter bangsa telah dilaksanakan oleh dunia pendidikan kita termasuk dengan digalakannya pendidikan karakter dalam kurikulum kependidikannya. Akan tetapi, dalam dunia pendidikan Islam pendidikan berkarakter ini telah ada bahkan sejak pertama kali Islam datang ke dunia yaitu karakter muslim yang bertauhid uluhiyyah yang tercermin dalam sikap muslim sejati.
Menghidupkan kembali karakter manusia bertauhid uluhiyyah yang gilirannya memang diikuti oleh tujuan nasional pendidikan kita hendaknya lebih dipahami, mengapa dan bagaimana bisa karakter manusia yang bertauhid uluhiyyah ini menggambarkan muslim sejati yang mampu membentuk karakterter bangsa. Karakter bangsa inilah yang saat ini hendak diperjuangkan agar tanah air kita kelak berisi manusia-manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi waga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan Pendidikan : Karakter Muslim Bernilai Tauhid Uluhiyyah
Pendidikan adalah hidup. Begitulah pendidikan dalam arti luas. [5]Artinya pendidikan adalah segala pengalaman belajar di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi individu yang menjalaninya. Pendidikan menjadi bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia dan budayanya dengan alam bahkan dengan tuhannnya.
Pendidikan yang bersifat multi dimensi ini pada akhirnya berujung pada tujuan hidup manusia(muslim), yaitu mengharap ridha Alloh SWT. Dengan demikian maka tujuan pendidikan Islam secara umum ialah menjadi muslim yang kaffah[6] agar ia kelak bisa mendapatkan kebahagiaan dari segala sisi (duniawi dan ukhrawi). Hal ini tertera dalam QS. Albaqoroh ayat 208 : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Islam mampu diterima di seluruh peosok dunia dengan keramahan, dan tanpa paksaan. Agama yang telah ada pada saat itu dianggap tidak mampu lagi menjaga perdamaian dan kedamaian . penyebarannya oleh para pedagang dan para penguasa kerajaan yang berkuasa saat itu membuat ia mudah diterima oleh semua kalangan dan di seluruh negeri.
Negeri kita yang saat itu konon di sebut nusantara, yang sekarang telah menjadi Indonesia, Malaysia, singapura, menjadi salah satu ladang penyebaran agama islam.
Keragaman nusantara ini tergambar dari kepercayaan-kepercayaan masyarakatnya pada saat itu terhadap hindu budha (dinamisme), animism dan bahkan atheis pun menjadi warna kepercayaan masyarakat kita saat itu. Meskipun di Nusantara ini terkenal dengan keragaman budayanya, namun Islam mampu di terima oleh masyarakat Indonesia, Hal ini dikarenakan dalam islam terdapat ajaran tauhid, yakni suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Di pesantren-pesantren trasdisional salafi, kalimat “la ilaha illa Alloh” sering ditafsirkan menjadi beberapa pengertian, yaitu :
Pertama, la maujuuda illa Alloh ( tidak ada yang wujud kecuali Alloh)
Kedua, la ma’buuda illa Alloh (tidak ada yang disembah kecuali Alloh)
Ketiga, la maqsuda illa Alloh (tidak ada yang dimaksud kecuali Alloh)
Keempat, la matluba illa Alloh (tidak ada yang di minta kecuali Alloh)[7]
Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridoan-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Alloh inilah yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai kehidupan dalam islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada tuhan.
Doktrin tauhid ini mempunyai efek yang nyata hingga saat ini kepada masyarakat Indonesia. Keberhasilah doktrin tauhid ini bisa kita lihat dengan nyata di wilayah tasikmalaya sebelah timur dengan keberhasilan seorang tokoh yang memperjuangkan islam dengan tauhidnya. KH Choer Affandi, beliau memperjuangkan Islam dengan konsep tauhid “ala beliau”, bahkan dari seluruh pelosok nusantara belajar pada beliau mengenai Islam.
Dengan ribuan santri yang mondok di pesantrennya, ia mengembangkan tauhid sebagai ajaran islam dan meluruskan budaya yang telah ada, tidak menghilangkannya. Antara tauhid dan budaya local menjadi berdampingan, hingga tidak bertentangan dengan sifat ulluhiyyah tuhannya. Jadi, antara tujuan pendidikan Islam yang menginginkan muslim yang kaffah, terjalankan oleh nilai-nilai pendidikan tauhid uluhiyyah ini.
Pemikirannya ini mampu membuatnya menjadi tokoh kharismatik yang belum ada penggantinya hingga saat ini. Oleh karenanya, bagaimana konsep tauhid uluhiyyah KH Choer Affandi hingga ia bisa menjadi figure yang berkharisma dan masyarakatnya bertauhid uluhiyyah. Berikut akan kita bahas lebih lanjut.
KH Choer Affandi : Antara Pesantren Tauhid dan Kontrol Perubahan Nilai
KH Choer Affandi bernama kecil Onong Husen, lahir di kampong Palumbungan Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kewedanan Cijulang Ciamis, dari Pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’I dan Siti Animah bin Marhalan pada 12 September 1932.[8]
Beliau dididik oleh nenek, Ibu Haesusi atau yang biasa dipanggil Indung Usi membujuk beliau untuk mengaji pada Kyai abdul Hamid Pada tahun 1936. Enam bulan kemudian masuk ke pesantren Cipancur (belajar tauhid), Pesantren cikalang (belajar Fiqih), lantas ke Sukamanah Singaparna, dan kemudian ke Pesantren Legokringgit(Alat)
Selain di pesantren-pesantren tersebut, beliau juga belajar Tafsir/ Asmaul Husna dari KH Ahmad sanusi Gunung Puyuh Sukabumi, suluk/falak dari KH Tuan Manshur Jembatan Lima Grogol Jakarta Barat, Ruhul Jihad dari KH. Zaenal Mustofa, Faroidh dari KH. Mahfudz Babakan Tipar Sukabumi dan Quran/Tajwid, di daerah Cigeureung Kota Tasikmalaya.
Dengan ilmu yang mapan beliaupun mendirikan mendirikan Pesantren di atas tanah seluas 200 bata yang diberi nama Miftahul Huda yang sejalan dengan cita-citanya yang ingin manfaat ilmu.[9] Saat ini sepeninggalan beliau setiap tahunnya pesantren ini mengurus 2500 santri dari seluruh perlosok nusantara. Berarti pesantren ini digolongkan ke dalam pesantren besar seperti menurut Zamakhasyari Dhofier (1982:44). [10]
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia.[11] Menurut para ahli disebeut pondok pesantren apabila telah memenuhi 5 syarat yaitu ada kiai, pondok, mesjid, santri dan pengajaran membaca kitab kuning.
Beliau yang terlahir dari golongan menak dan ulama ini mengajarkan inti dari pendidikan keagamaan yakni dalam masalah Tauhid dan ‘Aqidah Uluhiyyah. Terlihat dari buku-bukunya seperti ‘aqidah Islamiyah, Thaudih Tijan, Majmu’atul ‘Aqidah, ‘Aqoidul Iman dan juga buku-buku kumpulan hasil riyadhohnya.
Dalam perjalanan hidup beliau yang penuh dengan liku-liku perjuangan baik itu pada waktu belajar maupun mengajar, terlahirlah kalimah Thoyyibah dari beberapa guru beliau yang menjadi ideologi pemikiran-pemikiran beliau yaitu :
Pertama,la ilaaha illalloh, la maujuuda illa Alloh (didieu kieu ayeuna abdi tapak damel Alloh/ tidak ada yang wujud kecuali Alloh). KH. Choer Affandy memaknai bahwa setiap waktu yang dilalui akan dihisab dan dipertanggung jawabkan dihadapan Alloh SWT.
Jika melihat hal ini, maka dari kalimah thoyyibah ini mengajarkan bahwa sebagai manusia hendaknya hidup disiplin, dan segala sesuatu dilakukan sesuai dengan ilmunya agar nanti bisa dipertanggungjawabkan. Melaksanakan perbuatan hanya karena Alloh SWT semata, sehingga terbentuklah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia , kreatif, dan juga mandiri.
Kedua, la ilaaha illalloh, la ma’buuda illa Alloh (na damel Allloh anu ieu, abdi bakti ka dzat Alloh/tidak ada yang disembah kecuali Alloh). Bermakna harus dibedakan antara keinginan dan tujuan. Seperti, inginnya berdagang mendapat untung dan tujuannya adalah mengharap ridho Alloh SWT.
Dari kalimah yang kedua ini, bisa menggambarkan sosok manusia yang demokratis dalam berbangsa dan bernegara, karena akan menghilangkan egoism dalam diri dan hati. Selain itu, menerima ketentuan yang telah terjadi dan hendak bangkit lagi dari keterpurukan itu dengan terus berusaha belajar lebih baik.
Ketiga, la ilaaha illa alloh,la matluba illa Alloh (dipidamel kalakuan pedah parentah dzat Alloh/tidak ada yang di minta kecuali Alloh).
Dari yang ketiga ini, mengandung pengertian untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan Alloh saja, tidak dengan yang dilarangnya sehingga akan terbentuklah manusia yang bertaqwa. Manusia yang melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Keempat, la ilaaha illa alloh, la maqsuda illa Alloh (di pidamel kalakuan mala ridhona dzat Alloh/tidak ada yang dimaksud kecuali Alloh).
Segala sesuatu dilakukan hanya untuk mendapat ridho Alloh. Hal ini sejalan dengan tujuan dan hakikat hidup manusia untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
Pesantren menjadi tempat mendidik yang benar-benar mendidik karena berlaku proses pendidikan 24 jam.. selain itu kiayi menjadi penyaring arus informasi yang masuk kepada santri-santrinya sehingga akan menularkan apa yang berguna dan membuang yang dianggap akan merusak.
Pesantren memiliki beberapa ciri utama dalam pendidikannya yaitu : memiliki kebijaksanaan menurut ajaran islam; memiliki kebebasan terpimpin; berkemampuan mengatur diri sendiri; memilki rasa kebersamaan yang tinggi; menghormati orang tua dan guru; cinta kepada ilmu; mandiri;dan kesederhanaan.
Jadi, pesantren dapat menyumbangkan penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan pendidikan nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan rohani adalah tujuan-tujuan pendidikan nasional yang juga merupakan tanggung jawab kemasyarakatan, bukan sekedar slogan di pesantren.
[1] KH. Choer Affandy. ‘Aqidah Islamiyyah. Tasikmalaya : Yayasan Pesantren Miftahul Huda. 1991. Hal 12.
[2] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. Cetakan ke-9 tahun 2007. Hal.6.
[3] Rahimi Sabirin. Islam dan Radikalisme. Jakarta : Ar Rasyid. 2004. Hal. 6.
[4] Pasal 3 dan Penjelasan atas UU RI No. 20 th 2003
[5] Syarifudin, Tatang. Landasan Pendidikan. Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
[6] Ahmad Tafsir. Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya : 2005. Hal 51.
[7] tang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. Cetakan ke-9 tahun 2007. Hal.44.
[8] H. Mahdar Fazari. Ikhlas Mengabdi, biografi Uwa Ajengan Pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda manonjaya Tasikmalaya Jabar. Tasikmalaya : Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Huda. 1996. Hal 5.
[9] Abdul Fattah. Awal Mula Uwa Ajengan Datang ke Manonjaya. Bandung : CV Wahana Iptek Bandung. 2010. Hal 11.
[10] Zamakhasyari Dhofier dikutip oleh Ahmad Tafsir dalam Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam hal 193.
[11] Ahmad Tafsir. Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya : 2005. Hal 191.