Berbicara
tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII)
pimpinan SM Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang
terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini, adalah petinggi NII
(DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah
pulau di Teluk Jakarta
Boleh dibilang, gerakan
Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para
pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus
1962, seluruh warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang,
mendapat amnesti dari pemerintah. Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII)
dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma'il Pranoto (Hispran) dan
anak buahnya, yang baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali
Moertopo) pada 1974.
Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang
telah menyerah[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu,
sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
"Demi
Allah, saya akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI
1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah
menjadi garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga
dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI cq alat-alat Negara RI.
Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna
dengan dijiwai Panca Sila." [2]
Sebagian kecil di antara
mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar Shalihat,
Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut,
maka kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus
mengindikasikan bahwa sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam,
NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa gerakan NII pada saat itu
(1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya.
Setelah
tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit
melanjutkan perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik
dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang
meski sudah menerima amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana
dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.
Gerakan
tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non
Struktural). Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar
Shalihat dan Djadja Sudjadi. Munculnya kelompok Fillah atau NII non
struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI. Yaitu, dengan
menciptakan "keseimbangan", dengan cara melakukan penggalangan kepada
para mantan "mujahid" NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah
setia pada Agustus 1962 lalu.
Melalui jalur dan kebijakan
Intelijen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai bentuk
welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan
"mujahid" petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap
militer NII.
Nama-nama Tokoh Penting di Belakang Gerakan Komando Jihad.
Nama
Danu Mohammad Hasan[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk
didekati dan akhirnya berhasil dibina menjadi 'orang' BAKIN, pada
sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan intelijen itu sendiri secara resmi
dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira OPSUS bernama
Aloysius Sugiyanto.[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali
Murtopo adalah Ateng Djaelani Setiawan.
Tokoh lain yang
diincar Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius
Sugiyanto adalah Daud Beureueh mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa
ACEH tahun 1947 yang memproklamirkan diri sebagai Presiden NBA (Negara
Bagian Aceh) pada 20 September 1953, dan menyerah, kembali ke NKRI
Desember tahun 1962.
Selanjutnya pendekatan terhadap para
mantan petinggi sayap militer DI-TII yang lain yang berpusat di Jawa
Barat dilakukan oleh Mayjen Ibrahim Aji, Pangdam Siliwangi saat itu.[5]
Mereka yang dianggap sebagai "petinggi NII" oleh Ibrahim Aji itu di
antaranya: Adah Djaelani dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap
militer DI ini pada saat itu setidaknya membawahi 24-26 nama (bukan
ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai mantan petinggi sayap
sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara
lain adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan
Kamaluzzaman– membawahi puluhan ulama NII.
Pengaruh dan Akibat Kebijakan Intelijen Ali Murtopo – ORDE BARU.
Baik
menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII,
politik pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji yang
menjabat Pangdam Siliwangi tersebut, sangat diterima dengan baik,
kecuali oleh beberapa pribadi yang menolak uluran pemerintah tersebut,
yaitu Djadja Sudjadi[6] dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap
militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi.
Hampir masing-masing individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal
cukup oleh Letkol Pitut Suharto berupa perusahaan CV (menjadi
kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak Tanah.
Kebijakan
OPSUS dan Intelijen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta
para mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui
reorganisasi NII ke seluruh Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo
masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya menjadi Deputi Operasi Ka
BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati detik-detik
digelarnya 'opera' konspirasi dan rekayasa operasi intelijen dengan
sandi: “Komando Jihad” di Jawa Timur.
Dalam waktu yang
bersamaan Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam
(1974-1978) sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan
sistematis melalui penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim
sebagai aparat teritorial dan 1300 Koramil sebagai ujung tombak
intelijen dalam gelar operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi
Opstib dan Opsus.
Sementara, pada saat yang bersamaan di
tahun 1971-1973 tersebut Ali Murtopo juga melindungi sekaligus menggarap
Nurhasan al-Ubaidah Imam kelompok Islam Jama'ah yang secara kelembagaan
telah dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971,
namun pada waktu yang sama justru dipelihara serta diberi kesempatan
seluas-luasnya melanjutkan kiprahnya dengan missi menyesatkan ummat
Islam melalui lembaga baru LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) di bawah
naungan bendera Golkar dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah
Islam Indonesia) yang berlanjut hingga sekarang.
Dari
sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan,
ketika Ali Murtopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan
kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis dari utara
maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Murtopo ini
selanjutnya diolah Danu Mohammad Hasan dan dipandu Letkol Pitut Suharto,
disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak SMK) dan
H.Isma'il Pranoto (Hispran).
Keberadaan dan latar belakang
Letkol Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi dengan
Andi Sele di Makassar, juga dengan H. Rasyidi [7] di Gresik Jawa Timur,
pada tahun 1968 akhirnya ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah hubungan
dan keberadaan para mantan petinggi NII yang sudah dirintisnya sejak
1965 tersebut dengan kepentingan membelah mereka menjadi 2 faksi.
Faksi
pertama diformat menjadi moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi
kedua diformat bagi kebangkitan kembali organisasi Neo NII.
Keterlibatan
Pitut Suharto yang akhirnya dinaikkan pangkatnya menjadi pejabat Dir
Opsus di bawah Deputi III BAKIN terus berlanjut, Pitut tidak saja
bertugas untuk memantau aktifitas para mantan tokoh DI tersebut, tetapi
Pitut sudah terlibat aktif menyusun berbagai rencana dan program bagi
kebangkitan NII, baik secara organisasi maupun secara politik termasuk
aksi gerakannya.
Ketika BAKIN membuat program
pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader) Indonesia ke Timur
Tengah –seperti Mesir, Syria, Libya dan Saudi Arabia yang diantara
alumnnya kemudian terkait dengan konflik Moro (MNLF) dan kelompok
perlawanan Aceh– Pitut Suharto-lah yang ditunjuk Ali Murtopo untuk
mengelola (membimbing, memantau, mengurus dan menyelesaikan) masalah
tersebut, sekalipun keberangkatan para kader aktifis Indonesia ke
Negara-negara Timur Tengah tersebut terbukti hanya untuk mempelajari
pola-pola gerakan Islam di sana, sembari mempelajari syari’ah sebagai
cover, dan melakukan pelatihan militer.
Tetapi antisipasi
yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia pada saat itu terlampau maju
dan cepat, sekitar tahun 1975 keberadaan kedutaan Libya di Jakarta
dipaksa tutup. Tetapi skenario Opsus terhadap kebangkitan organisasi NII
terus digelindingkan. Bahkan Pitut Suharto (pihak intelijen/orde baru)
justru menggunakan isu politik Libya di mata Barat dan bangkitnya NII
tersebut dijadikan sebagai isu sentral terkait dengan “bahaya laten
kekuatan ekstrim kanan” di Indonesia.
Kebijakan Abbuse of Power Intelijen Ali Murtopo.
Bersamaan
dengan kebijakan itu (memanfaatkan situasi politik terhadap Libya
tersebut) strategi Opsus yang dilancarkan melalui Pitut Suharto berhasil
meyakinkan para Neo NII tersebut untuk sesegera mungkin menyusun
gerakan jihad yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra untuk melawan dan
merebut kekuasaan Soeharto. Semakin cepat hal tersebut dilaksanakan
semakin berprospek mendapat bantuan persenjataan dari Libya, yang sudah
diatur Ali Murtopo.
Berkat panduan Letnan Kolonel TNI AD
Pitut Suharto[8] kegiatan musyawarah dalam rangka reorganisasi NII yang
meliputi Jawa-Sumatra tersebut berlangsung beberapa hari, hal itu justru
dilaksanakan di markas BAKIN jalan Senopati, Jakarta Selatan. Di
sinilah situasi dan kondisi (hasil rekayasa BAKIN-Ali Murtopo dan Pitut
Suharto melalui kubu Neo NII Sabilillah di bawah Daud Beureueh, Danu
Mohammad Hasan, Adah Djaelani, Hispran dkk) berhasil didesakkan kepada
kubu Fillah yang dipimpin secara kolektif oleh Djaja Sudjadi, Kadar
Shalihat dan Abdullah Munir dkk untuk memilih kepemimpinan.
Hasil
musyawarah kedua kubu (Fillah dan Sabilillah ini) yang dilakukan pada
tahun 1976 ini menetapkan, kepemimpinan NII diserahkan kepada Tengku
Daud Beureueh sekaligus membentuk struktur organisasi pemerintahan Neo
NII yang terdiri dari Kementrian dan Komando kewilayahan (dari
Komandemen Wilayah hingga Komandemen Distrik dan Kecamatan) namun tanpa
dilengkapi dengan Majelis Syura maupun Dewan Syura.
Provokasi
dan jebakan OPSUS terhadap para mantan tokoh DI berhasil, Struktur
organisasi NII kepemimpinan Daud Beureueh berdiri dan berlangsung di
bawah kendali Ali Murtopo yang saat itu menjabat sebagai Deputi Operasi
Ka BAKIN melalui Kolonel Pitut Suharto.
Gerakan dakwah
agitasi dan provokasi neo NII Sabilillah disponsori Pitut Suharto dan
Ali Murtopo mulai berkembang ke seantero pulau Jawa. Muatan dakwah,
agitasi dan provokasi para tokoh Neo NII bentukan Ali Murtopo-Pitut
Suharto hanya berkisar seputar pentingnya struktur organisasi NII secara
riil.
Karenanya kegiatan seluruh anggota kabinet Neo NII
adalah melakukan rekrutmen melalui pembai'atan secepatnya untuk mengisi
posisi pada struktur wilayah (Gubernur sekaligus sebagai Pangdam =
Komandemen Wilayah) dan posisi pada struktur Distrik (Bupati sekaligus
sebagai Kodim = Komandemen Distrik) seraya menebar janji akan segera
memperoleh supply persenjataan dari Libya sebanyak satu kapal[9] yang
akan mendarat di pantai selatan Pulau Jawa.
Sasaran
rekrutmen (pembai'atan) dilakukan hanya sebatas mengisi posisi pada
komandemen distrik struktur Neo NII, maka sasaran rekrutmen dipilih
secara tidak selektif di antaranya adalah para tokoh pemuda Islam dan
ulama atau kiai yang nota bene sangat awam politik maupun organisasi.
Tugas
rekrutmen untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan oleh H. Isma'il
Pranoto dan H. Husein Ahmad Salikun. Di Jawa Timur aktifitas rekrutmen
bagi kebangkitan Neo NII yang dilakukan oleh H. Isma'il Pranoto tersebut
sama sekali tidak terlihat ada tindak lanjut apapun, baik yang
berbentuk pelatihan manajemen dakwah dan organisasi maupun yang bersifat
fisik baris berbaris, menggunakan senjata atau merakit bom. Tetapi
hanya terhitung selang sebulan atau dua bulan kemudian, aparat keamanan
dari Laksus tingkat Kodam, Korem dan Kodim menggulung dan menyiksa
mereka tanpa ampun.
Jumlah korban penangkapan oleh pihak
Laksusda Jatim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para
rekrutan baru H. Isma'il Pranoto mencapai sekitar 41 orang, 24 orang di
antaranya diproses hingga sampai ke pengadilan.
H. Ismail
Pranoto divonis Seumur Hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga
disebut sebagai para pejabat daerah struktur Neo NII tersebut, baru
diajukan ke persidangan pada tahun 1982, setelah "disimpan" dalam
tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi.
Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6
tahun penjara.
H. Ismail Pranoto disidangkan perkaranya di
Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif
PNPS No 11 TH 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen
TNI-AD Witarmin[10]. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai
senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa makar dari
kalangan Islam.
Nama Komando Jihad sendiri menurut H.
Isma'il Pranoto merupakan tuduhan dan hasil pemberkasan pihak OPSUS,
baik pusat maupun daerah (atas ide Ali Murtopo dan Pitut Suharto).
Sementara penyebutan yang berlaku dalam tahanan militer Kodam VIII
Brawijaya – ASTUNTERMIL di KOBLEN Surabaya, mereka dijuluki sebagai
jaringan Kasus Teror Warman (KTW).
Sementara keberadaan
Pitut Suharto sendiri sejak tanggal 6 Januari 1977 – saat dimulainya
penangkapan terhadap H. Isma'il Pranoto dan orang-orang yang direkrutnya
sebagai kelompok Komando Jihad– Pitut justru pergi menyelamatkan diri
dengan menetap di Jerman Barat, dan baru kembali ke Indonesia setelah 6
atau 7 tahun kemudian.
Di Jawa Tengah sendiri aksi
penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma'il Pranoto dan H.
Husen Ahmad Salikun oleh OPSUS, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu
Bakar Ba'asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang,
akan tetapi yang diproses hingga sampai ke pengadilan hanya sekitar 29
orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan
H. Isma'il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun
1978-1979.
Di Sumatera, aksi penangkapan secara
besar-besaran berdasarkan isu Komando Jihad ini terjadi sepanjang tahun
1976 hingga tahun 1980, dan berhasil menjaring dan memenjarakan ribuan
orang.
Sementara penangkapan terhadap para elite Neo NII
–yang musyawarah pembentukan strukturnya dilakukan di markas BAKIN
(jalan Senopati, Jakarta Selatan)– seperti Adah Djaelani Tirtapradja,
Danu Mohammad Hasan, Aceng Kurnia, Tahmid Rahmat Basuki Kartosoewirjo,
Dodo Muhammad Darda Toha Mahfudzh, Opa Musthapa, Ules Suja'i, Saiful
Iman, Djarul Alam, Seno alias Basyar, Helmi Aminuddin Danu[11], Hidayat,
Gustam Effendi (alias Ony), Abdul Rasyid dan yang lain dengan jumlah
sekitar 200 orang, mereka ditangkap Laksus sejak akhir 1980 hingga
pertengahan 1981.
Namun dari sekitar 200 orang anggota Neo
NII yang ditangkap OPSUS tersebut, hanya sekitar 30 elitenya saja yang
dilanjutkan ke persidangan, selebihnya dibebaskan bersyarat oleh OPSUS
termasuk beberapa nama yang menjadi tokoh komando KW-9 [12], kecuali
satu nama tokoh yang dibebaskan tanpa syarat, yaitu Menlu kabinet Neo
NII yang bernama Helmi Aminuddin bin Danu, salah seorang alumni program
pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader) Indonesia ke Timur
Tengah (Madinah, Saudi Arabia) oleh Bakin.
Akan tetapi
isu dan dalih keterkaitan dengan bahaya kebangkitan NII, Komando Jihad
dan Teror Warman berdasarkan hasil pengembangan penyidikan pihak
keamanan terhadap mereka yang pernah ditangkap maupun yang diproses ke
pengadilan, oleh pihak OPSUS digunakan terus untuk melakukan
penangkapan-penangkapan secara berkelanjutan dan konsisten.
Sekitar
medio 1980 OPSUS Jawa Timur melakukan penangkapan terhadap 5 tokoh
pelanjut Komandemen Wilayah Jawa Timur, Idris Darmin Prawiranegara.
Kemudian dilanjutkan dengan penangkapan berikutnya pada medio 1982,
terhadap orang-orang baru yang direkrut Idris Darmin di wilayah jawa
timur dengan jumlah sekitar 26 orang.
Kesimpulan
Secara
substansi, makna kebangkitan Neo NII yang lahir dibidani dan buah karya
operasi intelijen OPSUS tersebut, sangat tidak layak untuk dinilai dan
atau diatasnamakan sebagai wujud perjuangan politik berbasis ideologi
Islam (apalagi sampai dikategorikan sebagai jihad suci fii sabilillah).
Misi
dan orientasi kiprah gerakan reorganisasi yang dilakukan para mantan
tokoh sayap militer NII tersebut adalah lebih didorong oleh dan dalam
rangka memperoleh materi dan kedudukan politis, kemudian
bertemu-bekerjasama (bersimbiosis mutualistis) dengan para tokoh
intelijen BAKIN yang benci terhadap Islam. Dengan demikian gerakan
Komando Jihad, Kebangkitan Neo NII maupun para mantan tokoh sayap
militer DI tersebut sulit dinilai sebagai perjuangan yang murni untuk
tegaknya Islam.
Perjuangan dan usaha para pihak atau
pribadi yang dilakukan karena semangat dan ketulusan untuk
memperjuangkan Islam, yang tidak didorong dalam rangka memperoleh
jabatan politis atau sarana materi sebagaimana halnya sikap dan tindakan
para mantan tokoh sayap sipil DI tersebut, menunjukkan posisi mereka
sebagai korban pengkhianatan para mantan tokoh sayap militer DI sendiri
dalam berpolitik.
Seluruh bentuk kerugian atau efek
negatif yang menimpa masyarakat Neo NII adalah karena provokasi dan
agitasi para mantan tokoh sayap militer DI, yang secara sadar dan
sukarela menyetujui dan mendukung kebijakan intelijen OPSUS (orde baru).
Oleh karenanya merekalah yang harus bertanggungjawab atas hancurnya
gerakan dakwah Islam dan citra negatif citra negatif dakwah. Dalam hal
ini, ada tiga pihak yang harus bertanggung jawab :
Pihak
ke I adalah aparat teritorial pemerintah Orde Baru, mulai dari tingkat
Kodim, Korem hingga Kodam yang pada masa itu disebut sebagai aparat
Laksusda (DanSatgas Intel atau Intel Balak = Intelijen Badan Pelaksana)
yang bertugas melakukan penangkapan, penyiksaan hingga pemberkasan
terhadap jaringan gerakan Islam (Neo NII, Komando Jihad, Teror Warman,
Teror Imran* dan Usrah) yang menjadi target obyek operasi intelijen.
Pihak berikutnya adalah para pemrakarsa, pembuat skenario dan sutradara
dari operasi intelijen yang dirancang oleh sayap intelijen yang berkuasa
penuh di bawah struktur Kopkamtib.
Pihak ke I bisa juga
disebut sebagai kekuatan bayangan dari struktur kekuasaan yang ada saat
itu namun diformat memiliki kewenangan penuh untuk merancang program,
mekanisme dan pengelolaan (mengendalikan) terhadap perjalanan sistem
politik, ekonomi dan pemerintahan yang berlaku. Pihak ke I sangat
dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dan menerima order, baik dari
penguasa domestik maupun asing, mengingat hukum Politik, kepentingan
kekuasaan dan intelijen selalu mengglobal, sesuai peta dan kubu ideologi
yang eksis di dunia atau berlaku universal.
Oleh karena
itu pihak ke I diberi kewenangan luar bisa, baik dalam menyusun grand
'scenario' hingga tingkat pelaksanaan (juklak) yang dilakukan secara
rahasia dan rapi, selanjutnya dikordinasikan penerapan aturan mainnya
dengan lemhannas dan departemen-departemen maupun kementrian. Dengan
demikian tugas, peran dan keberadaan pihak ke I menurut garis besar
haluan negara merupakan hal yang legal dan wajar, sekalipun untuk
kepentingan itu harus mengorbankan apa saja (abuse of power: terhadap
demokrasi dan HAM) atau membuat sandiwara dan rekayasa apa saja. Itulah
hukum yang berlaku dalam dunia politik, kepentingan kekuasaan dan
intelejen.
Selanjutnya, pihak ke I lainnya adalah mereka
yang menjadi inisiator membangkitkan neo NII, dalam rangka memberikan
stigma negative terhadap umat Islam, menciptakan beban psikologis kepada
umat Islam Indonesia yang hingga kini diposisikan sebagai produsen
gerakan radikal bahkan pelaku teror. Sebagai aparat negara seharusnya
mereka menggali potensi rakyat dan memberdayakan potensi tersebut ke
tempat semestinya, bukan justru dijadikan instrumen politik untuk
menggapai kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasaan.
-
Pihak ke II adalah pihak yang secara sengaja dan sadar menjalin hubungan
dengan pihak ke I, yang dikenal dan dipahami sebagai pejabat intelejen
militer sekaligus sebagai pejabat pemerintah dan Negara yang licik dan
kejam.
- Pihak ke III, adalah orang-orang yang bersedia
direkrut dan memposisikan dirinya sebagai pihak yang secara sadar telah
terdorong dan termotivasi untuk berjihad secara ikhlas di jalan Islam
namun terperosok dan terlanjur masuk ke dalam struktur gerakan Neo NII.
Posisi mereka adalah sebagai korban tak sadar dari abuse of Power,
sistem dan kebijakan politik maupun intelejen Orde Baru.
Keterangan Tambahan Mengenai Teror Imran:
Munculnya
kasus Jama'ah Imran pada pertengahan tahun 1980 berlangsung melalui
proses yang berdiri sendiri. Dalam artian, tidak ada keterkaitan dan
tidak ada hubungan –baik secara ideologi maupun sikap politik– dengan
eksistensi gerakan Neo NII atau Komando Jihad dan Teror Warman.
Memang
sempat terjadi "interaksi" antara anggota Jama'ah Imran dengan beberapa
elite KW-9 (Komandemen Wilayah 9) dalam struktur Neo NII atau Komando
Jihad hasil ciptaan Ali Murtopo dan Pitut Suharto tersebut.
Bentuk
"interaksi" yang terjadi pada akhir 1980-an itu, bukanlah "interaksi"
yang kooperatif tetapi justru saling kecam dan saling ancam. Hal ini
terjadi, karena H.M. Subari (alm) yang merupakan elite (orang struktur)
Neo NII KW-9 pernah mengatakan, "dalam satu wilayah tidak boleh ada 2
Jama'ah dan 2 Imam yang berlangsung secara bersamaan, kecuali salah
satunya harus dibunuh."
FOOTNOTE
[1] Padahal, amanat/wasiat sang imam (SMK) adalah tidak boleh menyerah.
[2]
Rahmat Gumilar Nataprawira, RUNISI (Rujukan Negara Islam Indonesia).
Dipertegas juga oleh pernyataan lisan dari Abdullah Munir dan tertulis
dari Abdul Fatah Wirananggapati (pemegang amanah KUKT dari SMK 1953).
[3]
Mantan Panglima Divisi atau Komandan Resimen DI-TII, pada saat sidang
pengadilan Militer – MAHADPER, Agustus 1962 mengaku salah dan memberi
kesaksian yang isinya menyalahkan sikap dan kebijakan politik SM
Kartosoewiryo. Hubungan ini kemudian memberi OPSUS buah menguntungkan
yang tidak disangka-sangka. "Saya berperan sebagai petugas pengawas
Danu," kenang Sugiyanto, "dan di bulan Maret 1966, kami menggunakan dia
dan anak buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di
Jakarta." Selanjutnya sejak tahun 1971, Danu Muhammad Hasan dan Daud
Beureueh sering terlihat di jalan Raden Saleh 24 Jakarta Pusat (salah
satu kantor Ali Murtopo), terkadang di Jalan Senopati (Kantor BAKIN),
ada kalanya di Tanah Abang III (Kantor CSIS).
[4] Menurut
Sugiyanto hubungan ini kemudian memberi OPSUS bunga menguntungkan yang
tidak disangka-sangka. "Saya berperan sebagai petugas pengawas Danu,"
kenang Sugiyanto, "dan di bulan Maret 1966, kami menggunakan dia dan
anak buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di
Jakarta." (lebih jelasnya lihat Kenneth Conboy, Intel: Inside
Indonesia's Inteligence Services).
[5] Seperti pengakuan
Ules Suja'i: "Soal pak Adah yang santer diisukan menerima jatah minyak
dari militer, memang dulu itu saya tahu pak Adah pernah menerima jatah
minyak dan oli dari RPKAD (KOPASSUS sekarang, pen), karena setiap
pasukan itu kan memiliki jatah dari Pertamina, nah oleh RPKAD jatah
tersebut diberikan ke pak Adah. Itu mah lewat perjuangan. Saya sendiri
dengan pak Adah memang pernah dipanggil oleh Ibrahim Aji mendapat surat
supaya dibantu oleh Pertamina lalu masuk ke Pertamina pusat jawabannya
kurang memuaskan, malah kalau saya sendiri sampai ke WAPERDAM sampai
ketemu Khaerus Shaleh, ya Alhamdulillah berhasil."
[6]
Djadja Sudjadi akhirnya tewas dibunuh Ki Empon atas perintah Adah
Djaelani. Ironisnya, hingga akhir hayatnya Ki Empon meninggal dalam
keadaan miskin dan serba susah sedangkan Adah Djaelani hidup terpandang
dan lumayan sejahtera sebagai petinggi yang lebih dihormati dari AS
Panji Gumilang di lingkungan mabes NII di Ma'had Al-Zaytun, Indramayu.
[7]
H. Rasyidi, adalah bapak kandung Abdul Salam alias Abu Toto alias
Syaikh A.S. Panji Gumilang, yang kini menjadi syaikhul Ma'had Al-Zaytun
yang dikenal sebagai "mabes" NII yang kental dengan nuansa misteri
intelejen. Abu Toto alias Abdul Salam Panji Gumilang sendiri sejak
mahasiswa menjadi kader intelejen kesayangan Pitut Suharto.
[8] Pitut Suharto pensiun dengan pangkat Kolonel, kini berdomisili di Surabaya.
[9]
Janji serupa ini juga berulang pada diri Nur Hidayat, provokator kasus
Lampung (Talangsari) yang terjadi Februari 1989. Nur Hidayat dkk ketika
itu yakin sekali bahwa rencana makarnya pasti berhasil karena akan
mendapat bantuan senjata satu kapal yang akan mendarat di Bakauheni,
Lampung.
[10] Witarmin, menurut penuturan H Isma'il
Pranoto di masa pergolakan DI-TII adalah sebagai komandan Batalyon 507
Sikatan yang sempat dilucuti oleh pasukan TII di bawah komando H. Ismail
Pranoto.
[11] Helmi Aminuddin adalah putera Danu Mohammad
Hasan, alumni Universitas Madinah, yang dikirim Bakin ke Saudi Arabia
dalam Program pemberangkatan para pemuda ke Timur Tengah, yang ketika
kembali ke Indonesia aktive dalam pergerakan.
[12] Pada
tahun 1984, para para elite NII Komandemen Wilayah IX (yang ditangkap
OPSUS pada pertengahan tahun 1980 hingga pertengahan tahun 1981, bersama
dengan para pimpinan Neo NII, Adah Djaelani-Aceng Kurnia) dibebaskan
bersyarat dari Rumah tahanan militer Cimanggis, tanpa melalui proses
hukum (Pengadilan), mereka itu adalah: Fahrur Razi, Royanuddin, Abdur
Rasyid, Muhammad Subari, Ahmad Soemargono, Amir, Ali Syahbana, Abdul
Karim Hasan, Abidin, Nurdin Yahya dan Muhammad Rais Ahmad, dan Anshory;
kecuali Helmi Aminuddin bin Danu M Hasan yang dibebaskan tanpa syarat.
Mohamad Fatih.
Sumber: eramuslim.com (22/10/2010)
Referensi:
Dengel, Holk H., Darul Islam dan Kartosuwiryo (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Jackson,
Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul
Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Kansil, C.S.T. dan Julianto S.A., Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.
Kuntowidjojo, Dinamika Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985.
Van Dijk, C. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan(terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989.
Horikoshi, Hiroko,“The Darul Islam Movement in West Java : An Experience in Historical Process”, Indonesia, Nr.20, 1975.
Simatupang, T.B. dan Lapian, “Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa”, Prisma, 1978.
Basri,
Jusmar, Gerakan Operasi Militer VI: Untuk Menumpas DI-TII di Jawa
Tengah, Jakarta: Mega Bookstore dan Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata
SAB., n.d.
Dinas Sejarah Militer TNI-AD, Penumpasan Pemberontakan DI-TII/SMK di Jawa Barat, Bandung: Dinas Sejarah TNI-AD.
Komando Daerah Militer VII Diponegoro, Staf Umum I, Bahan Perang Urat Syaraf Terhadap Gerombolan D.I. Kartosuwirjo.
Wawancara dengan beberapa tokoh terkait peristiwa Komando Jihad.