
Ada pepatah kuno yang mengatakan, jika anda tidak tahu kemana tujuan anda, maka jalan apapun tidak akan bisa mengantarkan anda ke tujuan. Indonesia, sebagai bangsa merdeka sejak 17 agustus 1945, tentu punya tujuan nasional. Dalam pidatonya di depan rapat umum hari wanita internasional Soekarno telah menegaskan, perjuangan nasional kita akan mengarah pada tiga tujuan besar: negara merdeka berbentuk Republik kesatuan berwilayah dari Sabang sampai Merauke; kedua, masyarakat yang adil dan makmur di Indonesia; ketiga, satu dunia baru tanpa exploitation de I’lhomme par I’homme dan tanpa exploitation de nation par nation.
Untuk mencapai tujuan nasional ini, tentu membutuhkan kesatuan cara pandang mengenai masa depan dan kesatuan jiwa. Dan, untuk itu, Soekarno telah menggariskan bahwa pancasila adalah pemersatu antara cita-cita masa depan dan jiwa kita, bangsa Indonesia. Seperti juga rakyat Venezuela, di bawah pemerintahan Chavez, punya “bolivarianisme” sebagai pemersatu untuk mencapai tujuan nasional mereka di masa depan.
Sekarang ini, setelah 64 tahun kemerdekaan, Indonesia menjadi sebuah bangsa tanpa orientasi nasional. Ibarat sebuah kapal, jikalau sebelumnya kita sudah mengarah pada titik tujuan, namun oleh nahkoda sekarang ini telah diputar 160 derajat untuk membelakangi tujuan.
Tidak dapat dibantah, bahwa Indonesia kembali memasuki babak penjajahan baru, bermantelkan neoliberalisme, namun sesungguhnya adalah neokolonialisme secara terselubung. Dalam menjalankan operasinya, neoliberalisme telah melucuti negara nasional sebagai penjamin kepentingan nasional dan publik. Neoliberalisme, seperti juga kolonialisme, menyerukan perampasan terhadap kekayaan alam (bahan mentah), tenaga kerja, dan pasar dunia ketiga. Demi penerapan ideologi korporatis, rejim neoliberalisme di Indonesia telah mensponsori perampasan barang dan kekayaan publik (Lihat, pasal 33 UUD 1945), seperti tanah, migas, air, hutan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Jalan neoliberal sangat bertentangan dengan semangat pembebasan nasional, semangat proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945. Pemerintahan paska Soekarno telah memutar haluan pada tujuan dan cita-cita nasional kita, yaitu sebuah bangsa yang merdeka, berdikari, dan berkepribadian, menjadi sebuah “bangsa kuli” diantara bangsa-bangsa.
Saat ini, di kalangan kaum pergerakan dan gerakan perubahan di Indonesia, sudah muncul berbagai perdebatan sengit soal bagaimana mengakhiri situasi saat ini, kemudian menunjukkan jalan yang bermasa-depan. Sayang sekali, bahwa diskusi-diskusi tersebut telah membokongi sejarah Indonesia, menapikan realitas nasional, dan kurang mendalam menganalisa problem rakyat setempat, sehingga lebih banyak mengutip atau meng-imitasi pengalaman dari negeri atau tempat lain.
Muncul-lah ide-ide sosial demokrasi, sosialisme ala Rusia, Islamisme progressif di Iran, sosialisme skandinavia, dan sebagainya. Tidak disadari, bahwa ide tersebut belum tentu tepat dan sesuai dengan realitas dan situasi konkret di Indonesia.
Kita butuh sebuah negara yang mandiri dan berdaulat, berani meninggalkan “ketergantungan terhadap penjajahnya”, serta mengkoordinasikan sebuah tujuan nasional untuk masa-depan. Dan, bagi kami, pancasila masih sangat relevan untuk didiskusikan sebagai filosofi anti-kolonial dalam konteks anti-neoliberalisme saat ini.
Pancasila harus dikembalikan kepada tempatnya, pemikiran Bung Karno, bukan pada distorsi panjang oleh orde baru. Karena, kalau dikembalikan ke ranah berfikir Bung Karno, maka Pancasila itu harus anti exploitation de I’lhomme par I’homme dan exploitation de nation par nation. Jadi, Pancasila itu adalah kiri.