Adalah jalan sejarah jika Sukarno kecil dititipkan di keluarga Haji
Oemar Said (H.O.S.) Cokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya. Adalah
suratan takdir jika kemudian Sukarno menjadi salah satu murid kesayangan
Cokroaminoto. Adalah sebuah keniscayaan jika kemudian Sukarno menjadi
tokoh nasionalisme penting negeri ini.
Dalam banyak literatur, Bung Karno selalu menyebut nama Cokroaminoto
sebagai guru sekaligus pujaannya di kala muda. Bung Karno tidak pernah
menafikan peran Cokroaminoto yang menggembleng Sukarno muda dengan
sekeras-kerasnya. Bung Karno sering membuntuti Cokro yang ketika itu
berusia 30-an tahun, berkeliling dari satu daerah ke daerah lain,
menjadi guru ngaji, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan perjuangan,
tebaran-tebaran semangat untuk merdeka, lepas dari penindasan bangsa
Belanda.
Sukarno
muda, dalam pergolakan jiwa remaja dengan nuansa cinta monyet, dalam
iklim “gaul” ABG pada zamannya… sama sekali tidak mendapatkan itu secara
sebebas-bebasnya. Di rumah, Cokro mendidiknya dengan keras. Hampir
setiap hari, sepanjang malam, dan di kala senggang, Bung Karno duduk di
dekat kaki Cokro, dan dialirkannya buku-buku ke pangkuan Sukarno. Ya…
Cokro bukan figur pengganti ayah yang siap menerima keluh-kesah. Bukan
figur ayah yang siap menerima pengaduan anaknya. Bukan pula figur ayah
yang menghiburnya di kala sedih. Tapi itu pula yang menjadikan Sukarno
akrab dengan literatur… dan banyak literatur lainnya di kemudian hari.
Begitulah, akhirnya Bung Karno tenggelam dalam lautan bacaan. Sejak
usia 15-an tahun, manakala teman-teman sebaya asyik bermain di taman
lapang, Sukarno justru sedang belajar. Sementara teman-temannya asyik
bersantai, Sukarno justru sedang melalap buku demi buku. Mulailah
Sukarno menemukan “teman-teman” lain dari buku-buku yang dibacanya.
“Teman-teman” itu bukan sembarang teman, melainkan tokoh-tokoh besar
dunia.

Maka, sangat aneh kalau ada tudingan yang mengatakan Bung Karno tidak
suka Amerika. Dalam penuturannya kepada Cindy Adams di biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,
jelas sekali bahwa semasa muda, Sukarno memuja pahlawan-pahlawan
Amerika. Bahkan, Sukarno mencintai rakyat Amerika. Sukarno juga membaca
majalah-majalah populer Amerika hingga menjelang akhir hayatnya.
Ada yang kurang dipahami sebagian orang yang menuding Sukarno anti
Amerika. Adalah kenyataan bahwa Sukarno juga belajar dan mengkaji secara
mendalam Gladstone dari Inggris, juga Sidney dan Beatrice Webb yang
mendirikan Gerakan Buruh Inggris. Bukan hanya itu, Sukarno juga
mempelajari Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia. Tidak berhenti
sampai di situ, Sukarno juga melahap habis kajian tentang Karl Marx,
Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia.
Sebatas itukah pengetahuan Sukarno tentang tokoh-tokoh dunia? Tidak!
Sukarno juga”ngobrol” dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan
Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis. Kesemua
perjalanan tokoh besar tadi, menginspirasi Sukarno pada masa-masa
selanjutnya. Di samping, pelajaran-pelajaran yang ia timba semasa
sekolah. Karenanya, ia juga paham sejarah Yunani kuno. Ia menyerap
sedalam-dalamnya protes atas segala bentuk penindasan. “Persetan dengan
penindasan!!!” pekiknya setiap berpidato tanpa pendengar di kamarnya
yang gelap. “Hidup Kemerdekaan!!!” teriak Bung Karno keras-keras di
dalam kesendiriannya, di kamar tanpa jendela, di kediaman Cokroaminoto.
Baiklah…. berikut ini adalah secuil kisah tentang Cokroaminoto, salah satu tokoh besar Indonesia.
Haji Omar Said Cokroaminoto lahir di Ponorogo 6 Agustus 1882, dan
meninggal dunia pada 17 Desember 1934, dan dimakamkan di TMP Pekuncen,
Yogyakarta. Dia dikenal sebagai Ketua Partai Politik Sarekat Islam.
Cokro lahir di Ponorogo, Jawa Timur, anak kedua dari 12 orang
bersaudara. Ayahnya, R. M. Cokroamiseno, seorang pegawai pemerintahan,
pamannya, R. M. Cokronegoro, pernah menjabat Bupati Ponorogo.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, Cokroaminoto
mempunyai tiga orang pengikut yang kemudian mewarnai politik Indonesia.
Mereka adalah Sukarno (ahli nasionalisme), Semaoen (ahli sosialisme),
dan Kartosuwiryo (ahli agama). Di kemudian hari, ketiganya saling
berseberangan. Semaoen dengan Alimin dan Muso terlibat pemberontakan PKI
di Madiun 1947. Sedangkan Kartosuwiryo dikenal sebagai dedengkot Darul
Islam (DI)/TII dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 7
Agustus 1948. (roso daras)