17 April 2017 adalah hari yang tidak pernah saya lupakan. Untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di Pohuwato, Gorontalo. Sebuah daerah yang jauh dari kampung halaman saya di Ciamis, namun justru terasa begitu dekat di hati karena sambutan hangat masyarakatnya.
Saya datang dalam rangka kegiatan pemanfaatan tata kelola informasi desa melalui sidak.id, sebuah platform Sistem Informasi Desa (SID) yang menjadi terobosan penting bagi transparansi desa. Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Pohuwato dan BP2DK, tempat saya mengabdikan diri.
Bagi saya, pengalaman ini bukan hanya soal teknologi, bukan sekadar aplikasi digital, tapi tentang bagaimana teknologi bisa menjembatani pemerintah desa dengan warganya. Saat itu saya melihat betapa semangat para perangkat desa di Pohuwato begitu besar untuk belajar, meskipun fasilitas terbatas dan medan tidak mudah. Ada kebanggaan tersendiri bisa menjadi bagian kecil dari upaya mereka menuju keterbukaan informasi.
Namun, perjalanan ini juga menjadi catatan pribadi yang penuh warna. Di tanah Gorontalo, saya mulai belajar makan pedas—sebuah tantangan bagi lidah saya yang terbiasa dengan rasa sedang. Bukan hanya itu, di sana saya pun menemukan fakta menarik: hanya ada dua musim di Pohuwato, yaitu musim panas dan musim panas sekali. Sebuah ungkapan sederhana yang menggambarkan betapa teriknya cuaca, namun anehnya, justru membuat saya semakin betah berada di sana.
Pengalaman di Pohuwato bukan sekadar perjalanan kerja, tapi sebuah pelajaran hidup. Saya belajar bahwa keterbukaan bukan hanya soal teknologi digital, tapi juga soal membuka hati, menerima budaya, dan menyatu dengan masyarakat setempat.