"Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hakhak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa." Pasal 18 UUD 1945 naskah asli
Hukum yang mengatur tentang desa sangat dipengarui oleh kondisi politik masing-masing rezim pemerintahan. Di awal masa kemerdekaan, desa diposisikan sebagai entitas yang sangat terhormat. Hal ini dibuktikan dari pembahasan dalam persidangan BPUPKI dan PPKI yang mengingikan agar desain Negara Indonesia merdeka harus disesuaikan dengan riwayat hukum dan lembaga sosial/struktur masyarakat (sociale structuur) masyarakat asli Indonesia yaitu desa, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Para pendiri bangsa meyakini bahwa model pemerintahan asli bangsa 2 Indonesia yaitu desa memiliki kelebihan yaitu nilai kebersamaan (paguyuban), gotongroyong dan bersatu jiwanya para pemimpin dengan rakyat dan masyarakatnya.
Pada masa orde baru, kebijakan tentang desa mengalami pergeseran makna dari yang sebelumnya desa dibiarkan melaksanakan pemerintahannya secara mandiri menurut karakteristik daerah masing-masing, di bawah Presiden Soeharto, desa atau dengan sebutan lain eksistensinya diseragamkan dengan desa yang ada di jawa. Akibatnya, banyak desa menjadi tidak berkembang. Selain itu, desa dinyatakan merupakan organisasi pemerintahan yang terendah di langsung bawah camat. Dengan sendirinya desa merupakan representasi pemerintah pusat. Artinya, apa yang dianggap baik oleh pemerintah pusat dipandang baik pula untuk desa. Asumsi ini bukan hanya manipulatif, namun juga mempunyai tendensi yang sangat kuat untuk mengalahkan dan merendahkan keperluan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat desa. Setelah kekuasaan orde baru tumbang, Pemerintah dan DPR akhirnya menyadari bahwa penyeragaman nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa tidak sesuai lagi dengan jiwa UUD 1945. Bahkan semangat untuk melestarikan, menghormati dan mengakui hak asal usul daerah yang bersifat istimewa semakin dipertegas dalam Pasal 18B UUD 1945 hasil perubahan. Pada era pemerintahan reformasi lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian ganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu materi yang diatur oleh ke dua UU tersebut adalah tentang desa. Menurut penulis buku ini, secara garis besar kedua UU ini mengatur tentang: pengakuan terhadap keragaman dalam pemerintahan desa, lahir mitra kerja kepala desa yang sederajat dan cukup kuat yaitu Badan Permusyawaratan Desa, camat bukan lagi atasan kepala desa, pembatasan kekuasaan kepala desa, 3 pelimpahan kewenangan pemerintahan kepada desa, peningkatan kemampuan keuangan desa, dan mendorong kemandirian desa.
Plato menilai bahwa negara lahir atas dasar adanya keinginan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam yang menstimulus mereka untuk bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu. Begitu pula tentang lahirnya desa, keputusan sekelompok masyarakat untuk menetap di suatu tempat dan berkeluarga menjadi sebuah mula terbentuknya desa di Indonesia. Dalam hidup yang berkelompok di suatu wilayah itulah masyarakat kemudian memperoleh kemanfaatkan untuk meringankan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Upaya memenuhi kebutuhan hidup ini berevolusi menjadi kepentingan bersama.
Kepentingan bersama juga menjadi akar terbentuknya variasi karakter desa-desa kita. Kartohadikoesoemo Dalam Buku " Desa" mengklasifikasikan desa dalam beberapa karakter diantaranya:
Kehidupan bersama secara berkelompok ini kemudian “mengharuskan” masyarakat untuk membikin aturan. Kedaulatan masyarakat dalam membuat peraturan yang perlahan menjadi bentuk pemerintahan tersendiri inilah yang sekarang lazim kita sebut sebagai self-governing community (kesatuan masyarakat hukum). Sebuah pranata kehidupan masyarakat beserta pemerintahannya secara mandiri dan tidak tergantung kepada pemerintah di atasnya.Desa pertanian, bermula dari pembukaan hutan belukar oleh sekelompok orang yang memiliki keahlian bercocok tanam,Desa perikanan (pelayaran), dibentuk oleh para penangkap ikan (nelayan)Desa pasar, berawal dari tempat bertemunya banyak orang untuk saling jual beli barang kebutuhanDesa peristirahatan, biasanya merupakan tempat peristirahatan kendaraan (hewan penarik kendaraan) di jaman dahuluDesa penyeberangan sungai, pertumbuhan masyarakat terjadi di sebuah tempat di mana terdapat tukang perahu yang menjajakan jasa penyeberangan dari satu sisi suangai ke sisi yang lain,Desa tempat keramat, terdapat tempat ziarah seperti candi yang kemudian mendorong orang untuk bertempat tinggal di sekitarnya,Desa sumber air, tak jarang di sebuah pegunungan yang terpencil terdapat sebuah desa yang memiliki catatan sejarah yang amat panjang, hal ini karena keberadaan sumber air yang mengundang kedatangan orang untuk bermukim di sekitarnya,Desa hasil pertambangan, dibentuk oleh orang-orang yang bekerja sebagai penambang batu, gamping, batu bara dan sebagainya,Desa tambak, di mana terdapat penemuan bibit ikan bandeng yang dapat dipelihara dan diminati masyarakat.
Pada awal abad 19, Muntinghe (sekretaris Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels) menemukan dan melaporkan keberadaan desa-desa di pantai utara Jawa. Diyakini olehnya bahwa keberadaan desa-desa ini sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Selama desa telah ada selama itulah kepentingan publik penduduknya dilindungi dan dikembangkan oleh hukum adat.
Konsep self-governing community yang terkandung dalam kehidupan masyarakat desa jauh lebih sepuh dari apapun yang bisa dilakukan oleh Negara. Desa telah ada bahkan sebelum masa kerajaan-kerajaan di wilayah yang kini disebut Indonesia ini. Sutoro Eko (2008) menyatakan bahwa “desa adalah komunitas lokal beyond the state, yang mengelola hidupnya sendiri dengan menggunakan pranata lokal.
Lebih lanjut, dalam era desentralisasi, pernyataan Kartohadikoesoemo bisa dijadikan pijakan untuk memposisikan desa sebagaimana asal sejarahnya. Desa memiliki hak otonomi yang penuh dalam artian pemerintahan otonom yang luas (regering) karena di masa lampau desa berkuasa atas pengadilan, perundangan, kepolisian bahkan pertahanan. Pernyataan ini tentu sejalan dengan apa yang telah diuangkapkan oleh Rousseau bahwa demokrasi yang sejati hanya mungkin terjadi dalam Negara yang kecil seperti halnya desa di masa lampau.
Dalam kerangka NKRI kemajuan Negara dan masyarakat desa harus dicapai secara bersamaan akan tetapi perlu juga dipikirkan cara agar masyarakat desa tidak “diperkosa”. Hampir semua para pembesar Negara kita didik dengan pola pendidikan barat dengan demikian, bagaimanapun bentuk kebijakan yang diperuntukkan bagi desa harus dipikirkan masak-masak. Sebaik apapun niat dari pusat nyatanya tidak selalu sejalan dengan logika masyarakat desa.
Catatan sejarah Indonesia sudah cukup untuk menjadi bahan pelajaran bahwa desa telah banyak digerojok kebijakan yang diniatkan untuk mencapai kebaikan. Bagaimana hasilnya? Sebagian berhasil, sebagian yang lain ditolak, beberapa justru menimbulkan permasalahan baru. Dalam buku ini Kartohadikoesoemo juga mencatat mengenai pembangkangan masyarakat yang dipimpin oleh Samin Soerontiko. Segala aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dianggap tidak sah oleh mereka. Kebiasaan “membangkang” terhadap pemerintah kolonial bahkan dibawa sampai saat ini.
Ada lagi satu buku yang cukup menarik untuk di kaji yaitu " Negara dalamm Desa" karya Hans Antlov dengan jargon patronase kepemimpinan lokal.
Ada beberapa hal yang bisa kita kaji dalam buku ini, diantaranya Ada dua pendekatan yang mengkaji mengenai birokrasi dan kekuasaan (Hamka Hendra Noer, 2003) Pertama, pendekatan yang berpijak pada tradisi Marxian yang dikenal dengan pendekatan struktural. Menurut perspektif struktural, masalah birokrasi bukanlah gejala khas Indonesia, melainkan gejala umum di dunia ketiga yang terkait dengan pola hubungan ekonomi antara negara maju dan berkembang. Menurut pandangan ini, birokrasi Indonesia yang berwajah korup dan otoriter adalah konsekuensi logis dari integrasi ke dalam kapitalisme internasional. Kedua, pendekatan Weberian yang dikenal dengan pendekatan politik-kultural. Birokrasi Indonesia dewasa ini merupakan tipologi patrimonial, dimana kedudukan dan tingkahlaku seluruh hirarki sebagian besar tergantung pada hubungan personal-kekeluargaan atau patron-klien. Sosok birokrasi seperti ini merupakan warisan dari proses historis kultural sejak masa kolonial. Buku Pak Antlov saya kira lebih bersandar pada pandangan yang kedua.
kemudian, Birokrasi dan kekuasaan. Bersandar pada pandangan Marx, negara dan aparat birokrasi adalah sekadar alat dari kelas yang berkuasa (state). Karenanya, birokrasi selalu memihak dengan menjadi instrumen kelompok kepentingan tertentu dalam masyarkat, yakni kelas yang berkuasa. Birokrasi bahkan memegang kekuasaan tersendiri dalam sistem pemerintahan negara modern. Dua bentuk kekuasaan birokrasi adalah: kekuasaan untuk bertahan hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan sendiri (policy-making power). Dalam konteks ini, menarik apa yang dinyatakan oleh Hendry (1988) bahwa birokrasi adalah cabang kekuasaan keempat, sesudah legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang semula tidak terbayangkan oleh kebanyakan the founding fathers, termasuk pendiri negara AS sekalipun.
Birokrasi dan netralitas. Apakah birokrasi bisa netral? Dalam kacamata Weber, birokrasi di dunia ketiga merupakan mesin politik negara yang tidak netral dan tidak mungkin netral. Mesin politik ini kadang-kadang merefleksikan nilai-nilai serta norma-norma yang jauh dari rasional. Meskipun secara struktur sama dengan di negara maju, birokrasi di negara berkembang isi dan perilakuknya lebih diwarnai oleh tipikal primordial. Akibatnya, corak birokrasi lebih merupakan birokrasi patrimonial dan bukan birokrasi legal-rasional. Pola hubungan yang ada lebih merupakan hubungan antara patron dan klien yang bersifat sangat pribadi dan khas. Birokrasi patrimonialistik ini merembes ke praktek-praktek pemerintahan yang kemudian menjai korup yang lepas dari konstitusi dan tatanan hukum yang ada. Tiadanya kontrol eksternal yang effektif, misalnya dari parlemen, pers, perguruan tinggi, pengadilan, banyak disinggung sebagai salah satu penyebab utama.
Setidaknya, ada beberapa segi mengapa Kajian buku Tentang Desa begitu penting dan layak untuk dimiliki
dan dibaca oleh seluruh kalangan baik akademisi (mahasiswa dan dosen), pengamat, pejabat,
maupun politisi, yaitu: Pertama, buku ini ditulis oleh seorang pakar hukum tata negara yang selama
ini banyak meneliti dan menulis tentang otonomi daerah. Beberapa karyanya bahkan telah
beberapakali dicetak ulang sehingga kita tidak perlu lagi meragukan kwalitas isi dari buku ini.
Kedua, sependek pengamatan kami, buku ini merupakan buku ‘langka’ yang membahas
sejarah pengaturan desa dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai sejak
awal kemerdekaan hingga pembahasan desa yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa,
yang bukan hanya menyajikan dan menganalisis isi pasal perpasal dari setiap peraturan dimasud,
tetapi juga menyuguhkan berbagai argumen perdebatan yang dikemukan oleh para pendiri bangsa
dan para aktor perumus masing-masing peraturan perundang-undangan tentang desa itu sendiri.
Ketiga, ditengah kebingunan banyak pihak tentang bagaimana mengimplementasikan UU
desa, buku ini sangat bermamfaat untuk dijadikan pegangan terutama bagi pemangku kepentingan
dalam rangka mengimplementasikan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa agar semangat yang
terkandung di dalamnya yaitu menjadikan desa sebagai pioneer kemajuan bangsa dapat terlaksana
dengan baik..
Bahaya Negara yang tidak taat pada azas demokrasi yang benar. Para pejabat negara sering menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara yang tidak menganut kapitalisme maupun sosialisme. Karena “kapitaslime bukan, sosialisme bukan”, maka Indonesi sering disebut sebagai “negara yang bukan-bukan”. Di negara negara barat, biasanya mereka dengan tegas menganut salah satu sistem, misalnya kapitalisme, meskipun kemudian disertai dengan sistem welfare state sebagai salah satu cara untuk membuat kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Pada tahun 2014, lahir UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Terlepas dari motif lahirnya UU ini yang penuh dengan kepentingan politik karena disahkan bersamaan dengan pemilu legislatif, menurut penulis bagi masyarakat desa UU ini telah memberikan payung hukum yang lebih kuat dibandingkan pengaturan desa dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu hal yang sangat penting yang diatur dalam UU adalah adanya alokasi dana yang sangat besar dari Pemerintah. Dengan dana tersebut seharusnya ke depan desa akan memiliki peluang yang besar untuk lebih maju dan berkembang dengan baik. Jika kita mengkaji dan membaca langsung sejarah pengaturan desa mulai awal kemerdekaan sampai era reformasi hari ini tentu akan sangat sulit dan membutuhkan banyak waktu karena begitu banyak data dan peraturan yang harus kita kaji dan cermati. Namun jika kita membaca buku karya Ni’matul Huda ini, kerumitan dalam memehami kebijakan setiap rezim pemerintahan di Indonesia tentang desa akan dengan mudah dapat kita pahami karena selain buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat mudah untuk dicerna dan dipahami oleh seluruh kalangan, setiap topik dipaparkan dengan sistematis dan dianalisa dengan sangat mendalam. Sehingga kita tidak perlu membaca satu persatu dari berbagai peraturan yang berkaitan dengan desa tersebut karena di dalam buku ini penulisnya sudah mengutipkan beberapa pasal penting yang berkaitan langsung dengan pembahasan tentang desa.