Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo bukan orang Sunda asli. Dia kelahiran Cepu dan masih keponakan Mas Marco Kartodikromo. Menurut buku Siliwangi Dari Masa Ke Masa, ketika Kartosoewirjo dipecat dari sekolah kedokteran NIAS di Surabaya, diketemukan buku-buku sosialisme dan komunisme “yang diperoleh dari pamannya yang bernama Marko Kartodikromo” (hlm. 516).
Setelahnya dia akrab dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan terlibat dalam Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) di Jawa Barat. Pada 1929, Kartosoewirjo kawin dengan putri dari Adiwisastra, salah satu tokoh PSII Jawa Barat, yang bernama Dewi Siti Kalsum.
Setelah kesehatannya dirasa menurun, Kartosoewirjo memilih pulang ke kampung mertuanya di Malangbong. Salah satu kecamatan di Garut itu pun jadi basis penting Kartosoewirjo. Pada 1940, ia mendirikan Institut Suffah di Malangbong.
Institut Suffah, menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Suatu Pemberontakan (1995), “mulanya dimaksudkan untuk memberikan pendidikan umum dan agama, [….] akhirnya ia berubah menjadi suatu lembaga yang memberikan latihan kemiliteran selama pendudukan Jepang” (hlm. 29).
Pemerintah pendudukan Jepang juga memberi latihan kemiliteran secara resmi bagi pemuda Islam. Dari situ, kemudian terbentuk lah milisi bernama Hizbullah.
Kartosoewirjo mempelajari Islam. Ia berguru kepada mertuanya, Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, juga Kiai Yusuf Tauziri dari Wanaraja, yang boleh dibilang sangat berpengaruh terhadap sikap religius Kartosoewirjo.
Keakraban Kartosoewirjo dengan Kiai Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat sang Kiai duduk dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo. Kadang Yusuf, yang berkecenderungan berat ke tasawuf, dianggap bertanggung jawab atas kegemaran Kartosoewirjo pada mistik. Bahkan beberapa peneliti mengatakan Kiai Yusuf sebenarnya pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan Darul Islam pada tahap permulaan. Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer.
Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi momentum penting dalam karier politik Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama Suffah PSII. Rencananya, lembaga yang bertujuan menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai Wakil Ketua PSII.
Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII. Puncaknya, dalam kongres partai ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui keputusan Dewan Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.
Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII, yang menurut dia merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.
Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda. Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti “menyucikan diri”. Menempati area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga pendidikan ini berada di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari keramaian kota, di tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan raya.
Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik. Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi), dan ilmu tauhid kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong dibubarkan Jepang. Meski begitu, Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah. Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol memberi pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi laskar Islam, Hizbullah dan Sabilillah, yang menurut sejumlah sejarawan kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Dalam perjalanannya, Institut Suffah berujung tragis. Pada 1948, bangunan lembaga itu dihancurkan tentara Belanda, dan hanya menyisakan puing-puing batu bata. Belakangan batu bata reruntuhan itu pun dijual istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, untuk membiayai pendidikan putra bungsunya, Sardjono. “Meski memiliki kenang-kenangan yang sangat berarti, apa boleh buat saya butuh uang untuk menyekolahkan Sardjono,” kata Dewi, seperti dikutip majalah ini edisi 5 Maret 1983.
Kini bekas Institut Suffah yang berada di belakang rumah Sardjono di Desa Bojong, Malangbong, itu tak sedikit pun menyisakan jejak kejayaan pesantren yang didirikan Kartosoewirjo.