Jejak Perjalanan Literasi Digital: Dari Tasikmalaya, Garut, Hingga Papua



Tahun 2024 lalu menjadi salah satu momen berharga dalam perjalanan saya sebagai pegiat literasi digital. Hari itu, saya mendapat kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan literasi digital bagi masyarakat pedesaan di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Tidak hanya sekadar hadir, saya dipercaya menjadi pembicara—membawakan materi yang mungkin terlihat sederhana, namun sejatinya menyentuh aspek paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana kita berinteraksi dengan dunia digital secara bijak dan bermanfaat.

Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Kominfo dan BP2DK, sebuah kolaborasi yang mempertemukan semangat pemerintah dengan denyut kebutuhan masyarakat desa. Saya melihat langsung bagaimana wajah-wajah para petani, pelaku usaha kecil, hingga para pemuda desa, begitu antusias menyimak setiap penjelasan tentang keamanan berinternet, potensi ekonomi digital, hingga peluang usaha yang bisa lahir hanya bermodalkan jaringan internet dan gawai sederhana.

Ada satu momen yang tidak pernah saya lupakan. Seorang bapak paruh baya, dengan mata yang berbinar, berkata kepada saya setelah sesi selesai: “Ternyata internet bukan hanya untuk anak muda, ya, Kang. Ternyata bisa juga membantu kami jual hasil kebun.” Ucapan itu sederhana, tetapi menggetarkan hati saya. Ada rasa haru sekaligus bangga, karena di situlah esensi dari literasi digital: membuka cakrawala baru dan memberi harapan pada mereka yang sebelumnya merasa terpinggirkan oleh teknologi.

Perjalanan literasi digital ini tidak berhenti di Jawa Barat. Pada 2 Agustus hingga 15 Agustus 2024, saya berkesempatan melakukan road show literasi digital di Papua Barat Daya. Di beberapa titik, saya hadir sebagai pemantik diskusi dengan tema “Keamanan Berinternet dan Manfaat Internet untuk UMKM.”

Di Papua, pengalaman itu terasa jauh lebih emosional. Saya menyaksikan bagaimana masyarakat, yang sebagian besar tinggal jauh dari hiruk-pikuk kota besar, begitu haus akan ilmu baru. Mereka menyambut internet bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai jalan baru menuju perubahan hidup. Banyak anak muda Papua yang bertanya dengan penuh semangat tentang cara memasarkan produk lokal secara online, tentang bagaimana melindungi data pribadi, hingga cara menggunakan media sosial untuk memperkenalkan budaya mereka ke dunia.

Di setiap tatapan mata yang saya temui, saya membaca satu hal yang sama: harapan. Harapan agar desa mereka tidak tertinggal, agar anak-anak mereka bisa belajar lebih banyak, agar usaha kecil mereka bisa dikenal lebih luas.

Bagi saya, perjalanan literasi digital ini bukan sekadar agenda kegiatan atau catatan dalam laporan kerja. Ia adalah perjalanan batin, yang mengajarkan bahwa teknologi hanyalah alat, tetapi manusia—dengan semangat, kebersamaan, dan keinginannya untuk maju—adalah inti dari perubahan itu sendiri.

Dan setiap kali saya berdiri di depan masyarakat, baik di Tasikmalaya, Garut, maupun di Papua Barat Daya, saya selalu merasa bahwa apa yang saya lakukan ini adalah sebuah pengabdian kecil untuk negeri yang besar.