Kini, ratusan tahun kemudian, kita mengibarkan bendera merah putih, berteriak “Merdeka!”, dan mengaku hidup dalam kedaulatan. Tetapi mari jujur bertanya: apakah wajah penjajahan itu benar-benar sudah pergi? Atau hanya berganti rupa—dari seragam kolonial menjadi seragam dinas, dari logat Belanda menjadi bahasa Indonesia yang fasih berpidato, tapi sama sekali tidak mengerti bahasa rakyat?
Hari ini, negara bukan sekadar memungut pajak. Ia memungut nyawa ekonomi rakyat. Modal baru saja ditanam, usaha baru saja dirintis, keuntungan belum juga terlihat, negara sudah hadir lebih dulu—dengan tangan terbuka, bukan untuk membantu, melainkan untuk merampas.
Lihatlah kenyataan di lapangan.
Warung kopi baru buka? Harus setor pajak makanan dan minuman.
Putar musik untuk menarik pelanggan? Ada kewajiban royalti.
Parkir di depan toko? Retribusi kembali menanti.
Izin ini, izin itu—semua berlabel resmi, semua mengatasnamakan “pembangunan”.
Namun, pembangunan ini membangun siapa? Jalan di desa-desa masih rusak, listrik sering padam, sekolah kekurangan fasilitas, rumah sakit penuh sesak. Sementara rakyat kecil yang sudah susah payah membanting tulang justru dipalak terus-menerus. Ironisnya, yang dibangun justru gedung megah, kantor baru, mobil dinas pejabat, serta proyek mercusuar yang jauh dari kebutuhan rakyat.
Negara sebagai Pelayat, Bukan Penolong
Lebih menyakitkan lagi, ketika rakyat jatuh bangkrut, negara hadir hanya sebagai pelayat. Pidato belasungkawa, karangan bunga, bahkan doa melalui media sosial jadi pengganti tanggung jawab nyata. Tetapi ketika rakyat untung, negara berubah jadi lintah, mengisap sampai tetes terakhir.
Di sinilah ironi besar negeri ini: rakyat kecil yang setiap hari berjuang dengan keringat, berdarah-darah membangun usahanya, justru dianggap sapi perah. Sementara kelompok besar, korporasi raksasa, atau konglomerat yang dekat dengan kekuasaan, kerap diberi karpet merah, insentif pajak, hingga keringanan beban.
Rakyat kecil harus bayar penuh, rakyat besar bisa dicicil atau bahkan dihapus. Di mana keadilan?
VOC Gaya Baru: Verordening Orang Cilik
Jika dulu penjajah menindas dengan senapan dan kapal perang, hari ini penguasa menindas dengan stempel, aturan, dan regulasi. Bedanya, yang dulu berseragam asing, kini berseragam dinas negeri sendiri. Namun hasilnya sama: rakyat tetap kalah.
Inilah VOC Gaya Baru: Verordening Orang Cilik.
Sebuah sistem yang mengatur bukan untuk menyejahterakan, tapi untuk menghisap. Sebuah kekuasaan yang hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai perampok yang diberi legitimasi hukum.
Setiap 17 Agustus kita teriak “Merdeka!”, padahal yang terjadi hanyalah perpindahan tuan. Rakyat tetap menjadi objek yang diperas, hanya aktornya yang berganti.
Saatnya Bertanya: Merdeka untuk Siapa?
Apakah arti merdeka bila rakyat masih dicekik oleh regulasi? Apakah arti pembangunan bila yang dibangun hanyalah kepentingan segelintir orang? Apakah arti negara bila perannya lebih mirip rentenir resmi ketimbang pelindung rakyat?
Rakyat tidak menolak kewajiban. Rakyat sadar pajak adalah urat nadi pembangunan. Tetapi ketika pungutan berubah menjadi pemalakan, ketika kewajiban tak diimbangi perlindungan, maka kepercayaan runtuh. Rakyat merasa dikhianati.
Negara seharusnya hadir sebagai rumah bersama, tempat rakyat berlindung ketika hujan kesulitan datang. Bukan hadir sebagai lintah yang justru mengisap darah di saat rakyat paling rapuh.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka sejarah hanya berulang. Kita tidak benar-benar keluar dari kolonialisme, hanya berganti nama. VOC sudah bubar di atas kertas, tetapi mentalitas VOC masih hidup—bersemayam di tubuh birokrasi kita, di aturan-aturan kaku yang menindas, di kebijakan-kebijakan yang berpihak pada penguasa.
Rakyat Menunggu Keberpihakan
Negara ini tidak boleh lagi hanya menjadi pelayat ketika rakyat jatuh dan perampok ketika rakyat bangkit. Negara harus kembali pada hakikatnya: pelindung, pengayom, dan penguat rakyat kecil.
Selama itu belum terjadi, rakyat hanya akan terus jadi korban. Dan seruan “Merdeka!” setiap 17 Agustus hanya akan jadi ironi. Karena sejatinya, kita masih hidup dalam penjajahan—penjajahan yang kini berbicara bahasa Indonesia, memakai jas resmi, dan bertanda tangan di atas kertas negara.