By: Rumah Suluh

Apa yang ada didalam benak kita ketika kata desa muncul, baik dalam
tulisan atau dalam pembahasan-pembahasan, atau sekedar dalam obrolan
santai? Kita masih ingat ungkapan ndeso, yang bernada nyinyir,
atau mencemooh. Mereka yang diberi lebel ndeso, adalah pihak yang
dipandang terbelakang, bodoh dan sejenisnya. Kenyataan ini sekedar
memberikan gambar awal, bahwa desa (dan atau dengan nama lain), bukanlah
arena yang diperlakukan secara “adil”. Apakah ini sekedar suatu kesan,
atau sebuah proses yang sesungguhnya merepresentasikan kerja-kerja
konstruksi untuk suatu kepentingan tertentu?
Apa yang belum kita lihat adalah suatu cara pandang yang menempatkan
desa, dan seluruh dinamika yang ada didalamnya sebagai subyek penting.
Terbitnya UU Desa (2014), yang didalamnya memuat pandangan-pandangan
baru yang penting. Dalam bagian menimbang dari UU dikatakan: (a) bahwa
Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan
cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; dan (b) bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga
perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan
demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera.
Pada bagian lain dikatakan bahwa pengaturan desa (ps. 3) berasaskan:
rekognisi; subsidiaritas; keberagaman; kebersamaan; kegotongroyongan;
kekeluargaan; musyawarah; demokrasi; kemandirian; partisipasi;
kesetaraan; pemberdayaan; dan keberlanjutan. Adapun tujuannya (ps. 4)
adalah: (a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah
ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia; (b) memberikan kejelasan status dan
kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (c)
melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
(d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; (e)
membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab; (f) meningkatkan pelayanan publik bagi
warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
(g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan
masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian
dari ketahanan nasional; (h) memajukan perekonomian masyarakat Desa
serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan (i) memperkuat
masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Berbagai segi pengaturan dan tujuan pengaturan tersebut, memperlihatkan
dengan sangat jelas bahwa suatu cara pandang baru, cara pandang yang
menempatkan desa sebagai subyek, cara pandang yang menempatkan desa
sebagai bagian dari actor strategis, baik dalam kerangka mengorganisasi
kehidupan mereka sendiri, maupun dalam kerangka ikut menjalankan misi
negara, dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi cita-cita proklamasi
kemerdekaan. Apa yang hendak dikatakan di sini, bahwa sejak kini dan ke
depan, dibutuhkan tidak saja cara pandang baru (yang dalam hal ini telah
dimulai secara legal oleh kebijakan desa, UU Desa), namun juga
praktek-praktek kongkrit, baik dalam konteks kerja-kerja kepembangunan
di tingkat desa, maupun dalam konteks kerja-kerja jurnalistik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pers, memiliki peran, antara lain: (a)
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nilai-nilai
dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormat kebhinekaan; (c) mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (d) melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum; dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Peran ini, jika kita kaitan dengan kebutuhan untuk menggerakkan
pembangunan desa secara lebih adil, dengan menempatkan warga desa
sebagai subyek, maka setidak-tidaknya ada tiga hal yang penting untuk
menjadi perhatian, yakni perihal kepemerintahan desa, gerak membangun,
dan upaya-upaya memperkuat partisipasi masyarakat.
Dari segi kepemerintahan, berarti membuka ruang akses yang luas kepada
masyarakat, untuk dapat mengetahui secara persis apa yang sedang
dikerjakan oleh pemerintah desa, dan mengetahui mengapa hal tersebut
dilakukan, apa tujuan dan bagaimana operasionalisasinya. Pengetahuan
yang utuh dari masyarakat tentu akan punya dampak yang berbeda,
mengingat jarak geografi yang dekat, sehingga kehadiran fisik masyarakat
atau warga desa, sangat dimungkinkan. Oleh sebab itulah, yang
dibutuhkan adalah suatu informasi yang berkualitas, agar informasi
menjadi pendorong kerja-kerja konstruktif, bukan pendorong konflik yang
tidak perlu. Dengan kemajuan di bidang informasi dan komunikasi, tentu
saja akan semakin terbuka ruang kesempatan warga, dan oleh sebab itu
pula, pemerintah desa, perlu mendapatkan sokongan yang dibutuhkan,
terutama untuk senantiasa bekerja berdasarkan mandate, aturan dan
nilai-nilai keutamaan.
Dari segi pembangunan, berarti bahwa masyarakat atau warga desa,
mendapatkan informasi yang memadai mengenai berbagai gerak langkah
pembangunan desa, termasuk kebijakan mengenai bagaimana sumber-sumber
ekonomi desa didistribusikan, atau digunakan untuk keperluan kegiatan
ekonomi. Investasi yang masuk di desa, harus dilihat dari sudut pandang
yang adil, baik dalam kerangka menggerakkan ekonomi desa, namun juga
dari sudut menjaga lingkungan desa, agar tetap sehat dan nyaman, serta
tetap berkemampuan dalam menyangga kebutuhan desa. Pembangunan
infrastruktur, harus dilihat sebagai suatu langkah yang kompleks, dan
oleh sebab itu, selain langkah-langkah kesegeraannya, juga perlu
diperhatikan dampak-dampak ke depan, yang sejak kini perlu mendapatkan
perhatian. Pada intinya adalah bahwa warga desa harus dapat melihat
dengan sejelas-jelasnya, ke arah mana gerak pembangunan berpihak, dan di
sisi yang lain, warga desa mendapatkan pengetahuan yang memadai,
mengenai apa yang harus mereka lakukan, untuk bersama-sama membangun
demi kesejahteraan bersama.
Dari segi pemberdayaan dan upaya-upaya memperkuat partisipasi warga
desa, berarti bahwa warga desa dapat mengakses informasi, baik
menyangkut segi-segi yang paling mungkin dilakukan, maupun dalam
kerangka mengakses pengetahuan yang diproduksi oleh desa sendiri. Apa
yang hendak kita katakan bahwa desa perlu mendapatkan ruang yang
memadai, untuk juga menjadi bagian dari pergerakan memproduksi
pengetahuan. Kehidupan desa yang kaya dan kompleks, tentu memuat
berbagai jenis prakarsa dan penemuan-penemuan. Ruang bagi warga desa
untuk menyebarluaskan informasi dan pengetahuan harus dibuka seluas
mungkin, sedemikian rupa sehingga berkembang berbagai jenis kreatifitas
dan inovasi. Kita percaya bahwa dari desa akan banyak dihasilkan
pengetahuan-pengetahuan baru, yang bukan saja dapat diandalkan, namun
juga memuat kebijakan-kebijakan, yang bersumber pada kearifan lokal.
Ketiga segi tersebut, tentu hanya sebagian dari arena dan atau
segi-segi yang harus menjadi perhatian, di dalam kita memperkembangkan
jurnalisme desa. Tentu saja kita berharap agar konsep jurnalisme desa
diperkembangkan, dan pada gilirannya menjadi “bidang baru”, dalam
kerja-kerja jurnalistik. Sebagai suatu “bidang baru”, tentu perlu
dikembangkan mata keahlian khusus, di luar berbagai teknik yang selama
ini telah menjadi standar baku keahlian jurnalistik. Bagaimana
memungkinkan hal ini? Undangan kita sampaikan kepada para pekerja media,
dan semua pihak yang memiliki kepedulian dan komitmen memperkuat desa,
dalam membangun jalan sejarahnya. (deje)