Makna kata 'Hong’
Kami telah melakukan banyak diskusi dengan para penggiat sastra Jawa, dan dari diskusi tersebut didapatkan berbagai pendapat tentang makna dan fungsi kata 'Hong' yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. 'Hong' merupakan pengucapan lokal dari frasa 'Aum', dari kepercayaan Hindu. Frasa 'Aum' dipakai dalam doa pemujaan kepada Hyang Widhi, yang memiliki makna bahwa dunia seisinya adalah perputaran antara kelahiran, kehidupan dan kematian. Doa dengan menggunakan awalan 'Aum' atau 'Hong’ dapat berarti ucapan doa meminta perlindungan agar dunia dilindungi oleh berkah Hyang Widhi yang berkuasa atas perputaran tersebut;
2. Frasa 'Hong’ digunakan dalam olah samadhi, sebagai vibrasi prana atau olah nafas dengan tujuan untuk menyatu (manunggaling) dengan vibrasi alam, suara semesta; maka dari itu pengucapan frasa ini dalam mengawali olah samadhi diucapkan dengan nada panjang.
Jadi kuat dugaan asal muasal kata 'Hong' berasal dari kata 'Aum' dari bahasa Sansekerta. Kata Aum dalam pelafalannya dibaca 'Om', dan ketika masuk Nusantara, pelafalannya yang dihembuskan dengan awalan helaan nafas menjadi 'Hong’.
Selain dalam pembuka pewayangan, dalam literasi Jawa frasa ‘Hong’ banyak ditemukan, seperti misalnya dalam naskah lama Pustakaraja Purwa (disusun oleh Padmasusastra,1923) yang menyebutkan kalimat Hong wèhên pranawa samêh sebagai doa pembuka naskah, juga naskah Sang Hyang Siksakanda yang menyebutkan kalimat hongkara nama sewaya, sembah hulun di pancatatagata, juga dalam buku Kejawen terbitan Balai Pustaka tahun 1930 juga berkali-kali menyebut frasa 'Hong’, khususnya dipakai sebagai doa, seperti misalnya kalimat Hong buwana langgêng, ulun trima, kita mangèstuti ulun. Tradisi pengucapan 'Hong’ rupanya masih terus berlangsung dan tetap dipakai oleh masyarakat Jawa, khususnya dari aliran kepercayaan, namun kalangan Islam Kejawen sebagai sinkretisme kepercayaan Islam-Jawa, juga tetap memakai frasa 'Hong’, contohnya telah disebutkan sebelumnya, yakni dalam dunia pedalangan yang banyak diantaranya memasukkan unsur-unsur ajaran Islam sebagai sarana dakwah melalui kesenian, namun tetap menggunakan kata awalan 'Hong’ sebagai pambukaning pakeliran..
Makna kata Wilaheng
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Wilaheng adalah gabungan dua frasa : Illahi+Hyang. Pendapat tersebut berawal dari dugaan dimana banyak penganut kepercayaan atau dalang ketika pambukaning pakeliran kerap menyebut ‘Wilaheng’ dengan menyingkatnya sebagai ‘Ilaheng’ saja; namun pendapat tersebut belum dapat diterima, karena penyebutan 'Illahi' dan 'Hyang' kurang memungkinkan untuk disebut atau digabungkan menjadi satu kata. Seperti kita tahu, 'Illahi' dan 'Hyang' sama-sama merepresentasikan penyebutan Tuhan, dan kami berpendapat bahwa penyebutan dua nama Tuhan kemudian dipadankan menjadi satu kata memang kurang lazim digunakan. Di dalam kamus Sansekerta, kata 'Wilaheng’ juga tidak ditemukan; jadi kuat dugaan bahwa kata 'Wilaheng’ adalah kata asli yang diciptakan oleh masyarakat Jawa.
Filolog UGM, Abhimarda Kurniawan memberikan analisa yang menarik tentang arti kata 'Wilaheng'. Menurutnya, 'Wilaheng’ merupakan frasa yang sebenarnya adalah gabungan dari dua kata, yakni 'Wil' dan 'Aheng'. 'Wil' atau 'Wiwil', atau 'Uwil' adalah sejenis mahluk demonik raksasa sebagai simbol keburukan, sedangkan 'Aheng’ terbentuk dari 'a'+'hyang', yang kemudian pengucapan lokalnya menjadi 'aheng'. Afiks verba 'a’ dalam konteks tersebut menunjukkan proses 'ke arah' atau 'menjadi', atau becoming. Jadi 'Aheng’ atau 'Ahyang' lebih tepat diletakkan pada konteksnya, yakni memiliki arti 'kembali kepada...’.
Di dalam khasanah pernaskahan Jawa lama juga banyak disebutkan kalimat 'manusa aheng', 'pulung aheng', 'buta aheng' dan sebagainya; jadi dapat dikatakan bahwa kata 'Wilaheng’ adalah semacam keyakinan bahwa segala keburukan akan kembali padaNYA, atau disirnakan olehNYA.
Kesimpulan
Pengucapan ‘Hong’ secara fonologi diucapkan dengan menggeser bunyi anusvara melalui labial (bibir), ke arah glotal (tekak) sebagai awalan pembuka yang diucapkan secara panjang, sebagai vibrasi prana, kemudian diikuti dengan kata ‘Wilaheng’, atau kerap dibaca 'Ilaheng' sebagai doa atau keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali padaNYA. Di dalam kitab Purwa Bumi Kamulan, disebutkan pula kata 'Hong Wilaheng’ beserta uraian tentang kosmogoni. Berdasarkan uraian dari kitab tersebut dapat diartikan bahwa mantra 'Hong Wilaheng' memiliki tujuan untuk eksorsisme, penenangan atau ketenangan diri (aswasa) dengan membalikkan proses kosmogoni, bahwasanya alam semesta seisinya ini berasal dari Tuhan atau 'Hyang’, dan semua akan kembali padaNYA. Mantra 'Hong Wilaheng’ dan kitab Purwa Bumi Kamulan sendiri hingga saat ini menjadi pegangan bagi para pandita 'sengguhu' di Bali, pandita di Tengger, serta menjadi pedoman utama bagi para agamawan pada abad 16-17.