Siapa
Tan Malaka dan Alimin? Dua tokoh nasional yang berkibar pada tahun
40-an. Keduanya juga dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia. Lantas apa
hubungannya dengan status pahlawan mereka? Erat sekali hubungannya,
karena keduanya tercatat sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.
Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada
tanggal 28 Maret 1963, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun
1963. Sementara, Alimin, ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional pada tanggal 26 Juni 1964 melalui Keppres No. 163 Tahun 1964.
Gelar Pahlawan Nasional ditetapkan oleh presiden. Sejak dilakukan
pemberian gelar ini pada tahun 1959, nomenklaturnya berubah-ubah. Untuk
menyelaraskannya, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009
disebutkan bahwa gelar Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang
pernah diberikan sebelumnya, yaitu:
- Pahlawan Perintis Kemerdekaan
- Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Pahlawan Proklamator
- Pahlawan Kebangkitan Nasional
- Pahlawan Revolusi
- Pahlawan Ampera
Tan Malaka adalah nama populer. Nama aslinya Ibrahim. Kemudian dari
garis ningrat ibunya (Sumatera Barat), ia mendapat gelar kebangsawanan,
sehingga nama lengkapnya menjadi Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Sejak
kecil sudah mengenyam pendidikan Belanda. Tahun 1913, saat usianya
menginjak 16 tahun, ia melanjutkan studi di Belanda.
Dalam garis sejarah berdirinya Republik Indonesia, nama Tan Malaka
tidak boleh hilang. Ia memiliki andil besar melalui gerakan-gerakan
bawah tanahnya, maupun melalui publikasi-publikasi yang banyak
menginspirasi banyak tokoh pergerakan lainnya. Majalah Tempo sempat
menulis tokoh ini dengan judul “Tan Malaka, Bapak Republik yang
Dilupakan”. Apa dan siapa Tan Malaka, sangat banyak referensi yang bisa
dirujuk.
Bagaimana dengan Alimin?
Alimin
bin Prawirodirdjo (Solo, 1889 – Jakarta, 24 Juni 1964) adalah seorang
tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia serta tokoh komuinis Indonesia.
Berdasarkan SK Presiden No. 163 Tahun 1964 tertanggal 26 – 6 – 1964,
Alimin tercatat sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Sejak remaja Alimin telah aktif dalam pergerakan nasional. Ia pernah
menjadi anggota Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Insulinde, sebelum
bergabung dengan PKI dan akhirnya menjadi pimpinan organisasi tersebut.
Ia juga adalah salah seorang pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan (dulu
namanya Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).
Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk
berunding dengan Tan Malaka dalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi
sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah meletus 12 November 1926.
Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.

Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah
basis perlawanan di Yenan dan bergabung bersama tentara merah di sana.
Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946, setahun setelah Republik
Indonesia diproklamasikan.
Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun
1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin termasuk
tokoh komunis yang tidak diindahkannya. Namun Alimin masih banyak
didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat meninggalnya pada
tahun 1964.
Begitu sederet alina yang saya kutipkan dari Wikipedia. Masih banyak lagi literatur tentang Alimin berikut sepak terjangnya.
Ini adalah postingan untuk me-refresh memori bangsa tentang
tokoh-tokoh penting dengan predikat pahlawan nasional, yang kemudian
terkubur karena ideologi komunis yang mereka anut. Sebagai ideologi,
komunis bukanlah suatu kejahatan. Ideologi itu pernah dianut oleh
sebagian bangsa kita secara legal. Namun ketika Orde Baru berkuasa,
ideologi ini diberangus. PKI dibubarkan, tokoh-tokohnya dieksekusi,
bahkan simpatisan pun turut disikat, serta tidak sedikit rakyat jelata
yang tahu juntrungannya, menjadi korban.
Pemakluman kita atas tragedi tersebut, berhenti pada kenyataan
sejarah bahwa rezim Soeharto berdiri dan ditopang oleh Amerika Serikat
dan sekutunya. Disokong oleh negara-negara liberal, negara-negara yang
memusuhi komunisme. Maka, wajar saja jika kemudian rezim ini diawali
dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC (baru dicairkan tahun
1990).
Kiblat negara kita sontak ke Barat. Politik luar negeri bebas-aktif
yang dicanangkan Bung Karno, usai sudah. Pelan tapi pasti, gerakan
non-blok tak lebih dari seremoni negara-negara yang bimbang. Kebijakan
ke dalam, menghapus dan mengubur dalam-dalam semua hal yang memiliki
keterkaitan (baik langsung atau tak langsung) dengan komunis. Momok
“ekstrem kiri” hampir setiap hari dicekokkan pemerintah Orde Baru untuk
menakut-nakuti rakyat.
Setelah 15 tahun rezim orde baru tumbang, masih saja banyak pejabat
(dan sebagian masyarakat) yang phobi terhadap komunisme. Lagi-lagi, ini
bisa kita maklumi mengingat mereka tumbuh dalam didikan Orde Baru. Tapi
bukan berarti sebagai anak bangsa kita harus berpikir picik, dengan
menafikan jasa para pahlawan yang memiliki ideologi komunis. (roso daras)