Beberapa waktu lalau saya sempat mengunjungi salah satu tempat bersejarah di kabupaten tulang bawang.
dalam perjalan , saya ditemani sahabat-sahabat pandu Desa Tulang Bawang, yaitu sahabat Dana, pak Suroto dan pak Badar
Menurut Tetua adat ditempat yang saya kunjungi arti Tulang Bawang Adalah Kosong atau Ikhlas, sebab mana mungkin bawang ada tulangnya, jadi ini merupakan perumpamaan yang sarat makna
Dalam sejarah kebudayaan dan perdagangan
di Nusantara, Tulang Bawang digambarkan merupakan salah satu kerajaan
tertua di Indonesia, disamping kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai, dan
Tarumanegara. Meskipun belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan
keberadaan kerajaan ini, namun catatan Cina kuno menyebutkan pada
pertengahan abad ke-4 seorang pejiarah Agama Budha yang bernama Fa-Hien,
pernah singgah di sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P'o-Hwang (Tulang Bawang) di pedalaman Chrqse
(pulau emas Sumatera). Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan
pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding
memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang
(antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie
(Sriwijaya), nama dan kebesaran Tulang Bawang sedikit demi sedikit
semakin pudar. Akhirnya sulit sekali mendapatkan catatan sejarah
mengenai perkembangan kerajaan ini.
Ketika Islam mulai masuk ke bumi
Nusantara sekitar abad ke-15, Menggala dan alur sungai Tulang Bawang
yang kembali marak dengan aneka komoditi, mulai kembali di kenal Eropa.
Menggala dengan komoditi andalannya Lada Hitam, menawarkan harga yang
jauh lebih murah dibandingkan dengan komoditi sejenis yang didapat VOC
dari Bandar Banten. Perdagangan yang terus berkembang, menyebabkan
denyut nadi Sungai Tulang Bawang semakin kencang, dan pada masa itu kota
Menggala dijadikan dermaga "BOOM", tempat bersandarnya kapal-kapal dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Singapura.
Perkembangan politik Pemerintahan
Belanda yang terus berubah, membawa dampak dengan ditetapkanya Lampung
berada dibawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam
Deandles mulai tanggal 22 November 1808. Hal ini berimbas pada penataan
sistem pemerintahan adat yang merupakan salah satu upaya Belanda untuk
mendapatkan simpati masyarakat.
Pemerintahan adat mulai ditata sedemikian rupa, sehingga terbentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang sendiri dibagi dalam 3 kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan dan Buay Umpu (tahun 1914, menyusul dibentuk Buay Aji).
Sistem Pemerintahan Marga tidak berjalan lama, dan pada tahun 1864 sesuai dengan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864, dibentuk sistem Pemerintahan Pesirah.
Sejak itu pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan kolonial
Belanda mulai dilakukan termasukdi Kabupaten Tulang Bawang.
Pada zaman pendudukan Jepang, tidak banyak perubahan yang terjadi di daerah yang dijuluki "Sai Bumi Nengah Nyappur” ini. Dan akhirnya sesudah Proklamasi kemerdekaan RI, saat Lampung ditetapkan sebagai daerah Keresidenan dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Tulang Bawang dijadikan wilayah Kewedanaan.