Kota Tasikmalaya kini memasuki babak baru dengan kepemimpinan yang menarik perhatian publik: seorang pengusaha dari keluarga besar Mayasari sebagai wali kota dan seorang artis sebagai wakilnya. Kombinasi ini tentu membawa berbagai ekspektasi, tetapi juga tak lepas dari bayang-bayang kekhawatiran, terutama soal politik balik modal dan eksploitasi ekonomi.
Sebagai pengusaha, sang wali kota tentu memahami dinamika bisnis, tetapi di sisi lain, publik patut waspada: apakah kepemimpinannya akan lebih condong pada kepentingan investor dan konglomerat daripada kepentingan rakyat kecil? Sementara itu, sang wakil, seorang artis, memunculkan pertanyaan lain: apakah ini sekadar upaya mencari panggung baru setelah popularitas di dunia hiburan meredup?
Pembangunan kota tak boleh hanya menjadi ajang investasi segelintir elite yang meraup keuntungan, sementara rakyat hanya jadi penonton. Tasikmalaya, dengan kultur Islaminya yang kuat dan semangat toleransi yang kental, harus tetap menjadi kota yang berpihak pada masyarakat luas, bukan sekadar ladang eksploitasi bisnis.
Kini, harapan masyarakat ada di tangan mereka. Apakah kepemimpinan ini benar-benar ingin membangun kota dengan ekonomi yang stabil dan kesejahteraan yang merata? Ataukah ini hanya strategi untuk memperkuat dominasi segelintir orang, sementara rakyat tetap berkutat dengan persoalan lama?
Warga Tasikmalaya harus tetap kritis dan mengawal pemerintahan ini dengan cermat. Kota ini tak boleh hanya menjadi panggung bagi segelintir orang yang ingin unjuk gigi, tetapi harus menjadi rumah bagi semua warganya yang sejahtera dan berdaya.