Setiap tahun, kita mendengar ucapan "Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin." Sebuah kalimat yang seharusnya menjadi simbol ketulusan dan rekonsiliasi. Tapi, di tengah hiruk-pikuk politik dan ketimpangan sosial, ucapan ini justru terasa hampa—apalagi jika datang dari para pemimpin yang tidak pernah benar-benar peduli pada rakyatnya.
Bagaimana bisa pemimpin mengucapkan maaf lahir batin sementara kebijakannya terus menyengsarakan? Bagaimana bisa rakyat sejahtera jika pemimpin lebih sibuk memperkaya diri sendiri? Setiap Lebaran, rakyat kecil tetap berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang melambung, sementara para elite politik menikmati liburan mewah.
Ucapan selamat dari mereka yang berkuasa hanya terdengar seperti formalitas kosong. Sebab, kalau pemimpin benar-benar memikirkan rakyat, kesejahteraan itu bukan sekadar janji atau basa-basi di momen Idulfitri. Rakyat butuh tindakan nyata, bukan hanya kata-kata manis di hari raya.