Di daerah Jawa Barat, pola pertanian
ngahuma masih dapat dilihat di daerah Banten dan beberapa area Jawa
Barat bagian selatan. Ciri-ciri dari pola kehidupan ngahuma yang dapat
dilihat jelas pada masyarakat Baduy adalah bentuk rumah sederhana yang
hanya terbuat dari struktur bambu dan kayu, beratap ijuk atau
alang-alang, dengan struktur pengikat berupa ikatan tali bambu atau tali
ijuk. Rumah sederhana ini biasanya merupakan tempat tinggal sementara
ketika pahuma (peladang) sedang berladang di suatu lahan.
Pola pertanian tradisional masyarakat
Baduy masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional
zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan
berpindah sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma
untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil
panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali
huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi
kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah
kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.
Pertambahan penduduk dan wilayah Baduy yang semakin sempit ternyata
menyebabkan dari tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin pendek,
yaitu 3 sampai 5 tahun dengan luas tanah yang digunakan untuk bertani
dan luas tanah bera bervariasi dari tahun ke tahu.
Secara
tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau
huma berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna,
1993). Keenam huma tersebut adalah:
- Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy dalam, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
- Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
- Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.
- Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.
- Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
- Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.
Kalender Pertanian Baduy
Masyarakat Baduy mempunyai jadwal
pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada kemunculan
bintang tertentu dan letak matahari. Patokan bintang yang digunakan
adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang Kartika atau
bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai
karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan bintang kidang
tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai
bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian.
Ungkapan Baduy menyebutkan: “Mun panonpoe
geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah
dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang
mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke
utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita
mengamati penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul
bintang kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)”.
Alat pertanian yang digunakan adalah alat
sederhana, dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin
mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang
dan kujang (parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan
cara melubangi tanah dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara
mencangkul atau membajak adalah terlarang. Kalender sebagai penanda
waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang berpatokan pada
perputaran bulan (komariah) yang terdiri dari 12 bulan. Menurut Narja,
seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah
sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan,
Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan
tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa,
Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan
masa panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai
upacara adat dan berbagai bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau
pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.
Tahap Pengolahan Ladang pada Masyarakat Baduy
Kegiatan pertanian padi tersebut merupakan
bagian sakral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy, sehingga
setiap kegiatan pada masing-masing tahapan dilakukan dengan upacara
adat.
Tahapan pengolahan ladang (ngahuma) tersebut adalah sebagai berikut:
- Narawas
Narawas adalah merintis, memilih
lahan untuk dikerjakan menjadi huma pada tahun tersebut, oleh setiap
kepala keluarga. Lahan yang dipilih untuk dijadikan huma biasanya berupa
reuma (bekas huma yang diberakan cukup lama) ataupun hutan
sekunder. Lahan yang dipilih oleh sebuah keluarga biasanya ditandai
dengan cara meletakkan batu, batu asahan, ataupun menanam koneng
(kunyit). Selama proses memilih lahan maka mereka mengikuti pantangan
untuk tidak berbicara kasar, kentut, memakai baju yang bersih dan
memakai ikat kepala.
- Nyacar
Nyacar
berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang tumbuh
tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon besar agar lahan
mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kegiatan ini dilakukan oleh
seluruh anggota keluarga dan biasanya dilakukan pada bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).
- Nukuh
Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada proses sebelumnya (nyacar).
Pada proses ini hasil tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar
matahari, dan setelah kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan untuk
kemudian dibakar pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang
dijadikan huma terdapat pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan
tidak boleh dilakukan sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada
saat nyacar, melainkan menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali
dengan upacara adat (pembacaan mantera dan pemberian sesaji) yang
dilakukan oleh puun dengan maksud agar makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak marah karena tempatnya diganggu manusia.
- Ngaduruk
Ngaduruk atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan ranting pepohonan yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat ngaduruk juga berpatokan dengan kehadiran bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang ngarangsang kudu ngahuru”,
yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang waktu subuh, yang
umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu yang
tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk setiap
onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan kebakaran
hutan. Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu memastikan
bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu bekas
pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.
- Nyoo Binih
Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan nyoo binih, ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored.
Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim hujan dan berpatokan pada
posisi bintang kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah apabila
bintang kidang mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh,
yang diistilahkan sebagai kidang muhunan. Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1 hari sebelum penanaman atau ngaseuk. Kegiatan
tersebut dimulai dengan menurunkan benih padi dari lumbung, yang
dilakukan oleh para wanita. Pelaku harus mengenakan selendang putih,
sabuk putih, dan rambutnya disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut
dengan suasana hening dan khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan
mengucapkan mantra tertentu.
Kegiatan menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh istri girang seurat, dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci,
yaitu dewi pelindung pertanian dari tidurnya. Setelah menurunkan padi
maka padi tersebut diletakkan di tempat yang lapang untuk diinjak-injak
dengan telapak kaki di atas tampah agar butir-butirnya terlepas dari
tangkai padi, kemudian benih tersebut disimpan di dalam bakul. Pada
malam hari salah satu dari bakul tersebut, yang secara simbolis mewakili
bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah lapangan untuk diberi mantra oleh
para tetua kampung (baris kolot) diiringi serombongan pemain
angklung yang semuanya pria dan disaksikan oleh seluruh warga. Benih
pada bakul tersebut biasanya kemudian ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal masyarakat Baduy.
- Ngaseuk
Kata ngaseuk berarti menugal atau
menanam dengan tugal, yaitu dengan cara membuat lubang kecil dengan
sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya, dan menanam benih
padi ke dalamnya. Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria
dewasa, dan penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.
- Ngirab Sawan
Arti ngirab sawan secara harafiah
adalah membuang sampah atau penyakit. Dalam kegiatan tersebut dilakukan
pembersihan ranting dan daun atau tanaman lain (gulma) yang mengganggu
pertumbuhan padi. Kegiatan lain yang berhubungan dengan ngirab sawan
adalah ‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau
membacakan pantun, dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan tersebut
terdiri dari campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang,
dan kelapa muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus, dicampurkan
dengan abu dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan. Pengobatan tersebut
adalah tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak 10 kali selama
pertumbuhan padi.
- Ngored dan Meuting
Ngored adalah membersihkan atau
menyiangi rumput dan gulma lain yang timbuh di antara tanaman padi, 2
sampai 4 kali setiap bulan selama pertumbuhan padi. Adapun meuting
adalah kegiatan menginap di saung huma atau gubug yang dibangun di huma
dengan jangka waktu tertentu dalam rangka mengurus dan memelihara
tanaman.
- Mipit
Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dan dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis yang pertama tersebut dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan dan huma panamping.
- Dibuat
Istilah dibuat dalam pertanian
Baduy adalah memotong atau memanen padi dengan mempergunakan etem atau
ani-ani, yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Pelaksanaannya adalah
setelah upacara mipit dan harus dilakukan segera. Apabila terlambat
maka hama walang sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan
tersebut dilakukan oleh seluruh keluarga, dan selama kegiatan tersebut
sampai dengan padi menjadi kering dijemur, seluruh anggota keluarga
menginap di huma.
- Ngunjal
Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk kemudian disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah beberapa hari dikeringkan atau dilantay, disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep).
Sebelum diangkut ke kampung, tali pengikat padi diganti dengan tali
baru. Pengangkutan hasil padi dilakukan secara bertahap oleh seluruh
keluarga. Para pria mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua
ikatan besar dan kemudian dipikul dengan menggunakan bambu, sedangkan
para wanita membawa padi dengan cara menggendong dengan menggunakan
kain.
- Nganyaran
Nganyaran adalah kegiatan upacara
memakan atau mencicipi nasi baru, atau nasi pertama kali hasil dibuat
di huma serang. Upacara nganyaran dimulai dengan mengambil 5 ikat padi
dari leuit huma serang. Padi tersebut kemudian dibawa ke saung lisung, yaitu tempat menumbuk padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk oleh 5 orang wanita, yaitu para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan bekas puun.
Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah masing-masing
penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam bakul tempat nasi dan
ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian, dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan harinya, nasi tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun
untuk diberi mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng
tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang
ke rumah masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen
dari huma serang yang disediakan di depan golodog bale.
Jika padi masih banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal
tersebut merupakan suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah
Baduy akan berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah
terlarang untuk dijual atau diperdagangkan.
Nyawah
Dalam naskah carita Parahyangan, hanya
dijumpai satu kata ‘sawah’ dalam rangkaian kalimat ‘sawah tampian
dalem’, yang berarti ‘tempat dipusarakannya ratu dewata’. Selebihnya
naskah tersebut hanya menceritakan kehidupan dan situasi masyarakat
peladang. Dr. Kusnaka Adimihardja menjelaskan bahwa bentuk mata
pencaharian masyarakat Sunda bermula dari kegiatan berladang atau
ngahuma, baru kemudian bersawah.
Di beberapa tempat seperti Kampung
Tonggoh, Baduy, kebiasaan bersawah dianggap sebagai suatu hal yang
melanggar adat atau ‘pamali’ karena adanya tiga faktor. Pertama, tanah
pertanian masyarakat Baduy berada di tanah perbukitan yang relatif jauh
dari sumber air, sehingga akan sulit untuk dibuah sawah yang bersaluran
irigasi. Kedua, masyarakat Baduy percaya bahwa huma merupakan cara
terbaik untuk merasakan manfaat ekosistem. Itulah sebabnya huma di
daerah Baduy ditanami juga dengan beberapa jenis tanaman keras seperti
kelapa dan tanaman buah-buahan sehingga tanah tetap terlindungi lapisan
suburnya oleh daya ikat yang ada pada akar tanaman keras. Ketiga, ada
kepercayaan terhadap pengaruh kekuatan alam dan kekuatan gaib.
Tahapan Pengolahan Nyawah Di Masyarakat Sunda
Teknik nyawah yang baik sangat diperlukan
untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Hal ini harus
dimulai dari awal, yaitu sejak dilakukan tebar sampai dibuat.
- Persemaian
Cara membuat persemaian di masyarakat sunda
- Tanah dibersihkan dari rumput sisa -sisa jarami(jerami) yang masih tertinggal, agar tidak mengganggu pertumbuhan binih (bibit),
- Tanah dibajak atau dipacul (dicangkul),
- ngagaru (tanah digaru),
- Tebar yaitu penaburan benih dan,
- Babut (pencabutan bibit).
- Persiapan Pengolahan dan Penanamam
- Magawe (membajak sawah)
- Macul (nyangkul)
- Ngagaru (menggaru)
- Tandur (menanam benih padi)
- Ngagemuk (mupuk)
- Ngarambet (membersihkan rumput yang ada disekitar sawah)
- Dibuat (panen)
Upacara yang terkait dengan pertanian
Orang Sunda awalnya dikenal sebagai orang yang hidup nomaden atau
berpindah-pindah. Itu sebabnya sebagian besar dari mereka bertani dengan cara
berhuma. Menurut sejarawan Nina Herlina Lubis, kehidupan bersawah dikenal sejak tahun 1828 saat Sultan Agung dari Kerajaan Mataram memerintahkan pasukannya menyerang Batavia. Untuk persediaan logistik, mereka membuka sawah di daerah Karawang. Sebelumnya, pada tahun 1820 Sunda sudah menyerah kepada Mataram.
berpindah-pindah. Itu sebabnya sebagian besar dari mereka bertani dengan cara
berhuma. Menurut sejarawan Nina Herlina Lubis, kehidupan bersawah dikenal sejak tahun 1828 saat Sultan Agung dari Kerajaan Mataram memerintahkan pasukannya menyerang Batavia. Untuk persediaan logistik, mereka membuka sawah di daerah Karawang. Sebelumnya, pada tahun 1820 Sunda sudah menyerah kepada Mataram.
Persawahan juga diperkenalkan orang Jawa
pada sekitar tahun 1800-an di wilayah Serang, Banten. Serang sendiri
berarti sawah. Sejak masih berhuma, masyarakat Sunda sudah memiliki
berbagai upacara yang terkait dengan pertanian. Upacara dilakukan untuk
menghormati alam yang telah mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Khusus
untuk padi, sebagai bahan makanan pokok, orang Sunda menghormatinya
dengan nama Nyi Pohaci atau Dewi Sri.
Petani
Sunda menganggap Dewi Sri sebagai makhluk bernyawa seperti manusia
sehingga amat dihormati dan diperlakukan agar ia tidak marah, tidak
berpenyakit, dan perlu dininabobokan agar menghasilkan padi danbibit
yang berkualitas.
Menurut Nanu, begitu hormat dan besarnya
harapan para petani agar kualitas padiyang dihasilkan baik dan
masyarakat di desanya tak kelaparan karena gagal panen, petani di
berbagai daerah di Priangan memiliki berbagai upacara, mulai dari mau
menanam padi hingga memanen dan memasukkan padi ke lumbung.
Upacara ini tidak hanya dikenal oleh orang
Sunda yang sudah bersawah, tetapi dikenal juga oleh orang Sunda yang
berhuma. Bahkan, petani di berbagai daerah merayakan upacara persiapan
air sawah hingga panen mirip dengan upacara dalam rangkaian berhuma yang
dimiliki orang Baduy. Petani tak melakukan.
Meskipun upacara untuk padi di berbagai
daerah memiliki banyak kemiripan, dari upacara-upacara tersebut terdapat
berbagai variasi sesuai dengan keyakinan di daerah tersebut. Misalnya,
di daerah Bogor pada upacara membawa padi dari sawah ke bale (balaidesa)
yang dikenal dengan ngarengkong atau memikul ikatan padi menggunakan
sebatang kayu, rengkong atau alat pemikulnya dihiasi ornamen Dewa Krisna
sebagai pemelihara. Ornamen ini tidak dimiliki daerah lain.
Saat ini kultur pertanian memang mengendur
di Tatar Sunda. Banyak petani tak lagi melakukan upacara karena sistem
pertaniannya pun sudah berubah. Di masa lalu, petani menanam padi dari
bibit di lumbung mereka.
Biasanya bibit padi adalah bibit unggulan
dari hasil tani tahun lalu. Padahal, dahulu untuk mengambil dan memilih
padi unggul saja ada upacaranya. Sekarang petani lebih banyak membeli
benih di pasar. Dulu petani menanam padi berusia enam bulan. Upacara
menanam hingga memanen dihitung dengan patokan masa tanam berdasarkan
kalender Sunda yang dipercaya masyarakat. Kini dengan bibit yang
berbeda, masa tanam pun berubah.
Akibat begitu kentalnya kultur pertanian
di masa lalu, berbagai aspek kehidupan ikut terpengaruh. Setidaknya
simbol-simbol pertanian juga menjadi simbol kehidupan. Misalnya, pada
saat proses pernikahan, alu (penumbuk padi) dijadikan simbol yang
melambangkan laki-laki, dan lesung (wadah dari kayu dengan lubang untuk
menumbuk padi) menjadi simbol perempuan.