Ngahuma (berladang) adalah suatu
sistem/pola pertanian yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan,
dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan yang direncanakan. Proses
itu berlangsung secara perputaran (siklus). Dari segi sejarah munculnya
sistem/pola pertanian, ngahuma merupakan suatu tahapan dalam evolusi
budaya manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam.
Ngahuma dikenal sejak manusia memahami
proses alamiah tumbuhnya tanaman. Masyarakat Jawa Barat, khususnya
masyarakat Sunda sebagai masyarakat pedalaman telah mengenal sistem
ngahuma sejak beberapa abad yang lampau, paling tidak sejak jaman
neolitikum. Oleh karena itu masyarakat Sunda di Jawa Barat semula adalah
masyarakat peladang. Sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang
cepat, pada satu sisi, dan berkembangnya pengetahuan manusia mengenai
bercocok tanam, pada sisi lain, di daerah Jawa Barat, kecuali di Baduy,
sistem ngahuma berangsur-angsur ditinggalkan. Sistem ngahuma berubah
menjadi sistem pertanian sawah dan/atau tumpang sari.
Berladang merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari masyarakat Sunda yang tidak dipisahkan dari tata ruang
kawasan bermukim dan perlu diatur serta direncanakan dengan perhatian
terhadap kekuatan alam yang ada. Jadi, dengan sistem pengelolaan tata
ruang lokal yang bijaksana, kawasan hutan lebat milik masyarakat adat
Sunda akan terpelihara cukup baik dan harmonis dengan kehidupan
masyarakat yang bergantung dengan kegiatan ngahuma.
Secara umum, kegiatan berladang dapat
dikelompokan menjadi 5 tahap, yang dalam setiap tahapannya selalu
disertai dengan upacara selamatan agar usaha pertanian tidak mengalami
gangguan atau serangan hama.
Pertama, pembukaan area hutan yang akan
digunakan sebagai ladang dengan cara membersihkan semak belukarnya.
Dalam masyarakat Sunda pekerjaan ini disebut dengan istilahn yacar.
Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh lelaki dewasa dengan menggunakan
alat antara lain golok dan parang.
Kedua, pemotongan pohon besar dengan
menggunakan kapak patik, atau bali ung (sejenis kapak besar).
Selanjutnya, dilakukan pembakaran sisa ranting kayu dan area hutan yang
sudah ditebang untuk mempercepat proses pembusukan sekaligus mengarahkan
zat nutrisi tanah (berupa abu hutan yang sudah dibakar) pada tanaman
penghasil pangan yang sudah dipilih, sehingga sempurnanya proses
pembakaran menjadi penting untuk menentukan hasil panen kelak. Setelah
dibakar, biasanya lahan tidak langsung digarap, tetapi dibiarkan
beberapa waktu hingga tanah menjadi dingin.
Ketiga, penanaman benih berupa tanaman
biji-bijian dan padi-padian. Di tanah Sunda, pekerjaan ini dikenal
dengan istilah ngaseuk, dengan cara melubangi tanah untuk menanam benih
dengan aseuk (alat berupa tongkat kayu dengan panjang kira-kira 1.5meter
dan ujung yang dibuat agak runcing). Kegiatan ini dilakukan oleh lelaki
dan wanita. Tanaman yang ditanam selain jenis biji-bijian dan
padi-padian, ditanam pula kacang-kacangan dan jagung. Di Banten bahkan
pahuma biasanya menanam pula tanaman keras seperti kelapa dan
buah-buahan.
Keempat, pekerjaan ngoyos atau menyiangi
lahan dari rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar tanaman ketika
menunggu masa panen selama 3-4 bulan kemudian. Pada awalnya, pahuma
hanya menggunakan tangan saja ketika menyiangi rumput, namun setelah ada
perkembangan alat berupa cangkul dan kored (cangkul kecil), maka pahuma
menggunakan alat dalam ngaseuk dan ngoyos.
Kelima, masa panen. Pekerjaan panen
biasanya dilakukan oleh para wanita secara gotong royong, sedangkan
lelaki bertugas mengangkut hasil panen ke rumah masing-masing. Areal
huma dalam masyarakat tradisional Sunda biasanya diolah selama satu
hingga tiga tahun. Setelah itu ladang dibiarkan menjadi hutan kembali.
Dalam proses menghutankan ladang, terdapat beberapa istilah, yaitu reuma
dan leuweung. Reuma adalah tanah huma yang dibiarkan beberapa lama dan
sudah ditumbuhi dengan semak belukar, sedangkan huma yang telah kembali
menjadi hutan yang penuh dengan proses penanaman pepohonan disebut
sebagai leuweung.
Pembukaan
huma baru biasanya memerlukan waktu selama satu tahun setelah leuweung
menjadi areal yang lebih subur. Proses tenggat waktu tersebut biasanya
disebut dengan ngajmi, sedangkan proses pembukaan reuma menjadi huma
biasanya disebut dengan ngareuma. Pada abad ke 17 hingga 18, terjadi
perubahan drastis dalam sistem pertanian masyarakat Jawa Barat dari pola
berladang menjadi sistem pertanian sawah.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor masuknya
pengaruh budaya Jawa (Mataram) ke daerah Priangan yang sejalan dengan
pengaruh politih Mataram di daerah Galuh pada abad ke 16 dan di daerah
Priangan di luar Galuh pada abad ke 17. Masuknya orang Mataram ke daerah
Priangan membawa pergeseran budaya sawah ke areal ngahuma. VOC yang
berangsur-angsur mulai menguasai wilayah Jawa Barat juga memerintahkan
penanaman komoditas kopi untuk diekspor, sehingga mengubah pola hidup
masyarakat ngahuma. Sejak saat itu, pola pertanian ngahuma mulai
ditinggalkan dengan pengaruh berkurangnya kesuburan tanah karena sistem
pengelolaan huma yang kurang tepat.
Kurang mendalamnya penurunan pengetahuan
tentang ngahuma yang baik dan benar menyebabkan kini terjadi cara
pengolahan tanah yang kurang baik atau terlalu cepat dalam mengolah
lahan kembali hingga menyebabkan menurunnya kondisi ekologis lahan.
Areal huma yang gagal kemudian digunakan untuk program penghijauan
(reboisasi) dan bahkan juga berubah fungsi menjadi areal pemukiman baru.
Di daerah Jawa Barat bagian selatan, pola
pertanian ngahuma bergeser ke arah pola pertanian tumpang sari. Sistem
pertanian yang disebut terakhir adalah bentuk pertanian yang dikerjakan
masyarakat di atas tanah milik kehutanan yang sedang direboisasi. Sistem
pertanian tumpang sari berlangsung pula di daerah Bandung Utara,
Cianjur, dan daerah Sukabumi Selatan. Di daerah Garut, sistem pertanian
tersebut dikenal dengan istilah “ngultur” yang kemungkinan besar berasal
dari istilah “kultuur stelsel”.
Setiap orang yang mengolah tanah kehutanan
dengan sistem tumpang sari diwajibkan untuk memelihara tanaman kayu
yang baru tumbuh sampai menjadi besar. Bilamana pohon kayu telah besar,
Departemen Kehutanan melarang melakukan tanaman tumpang sari. Para
petani tumpang sari kemudian mencari tanah kehutanan lain untuk diolah.
Dengan demikian, pola pertanian tumpang
sari pun merupakan sistem pertanian berpindah-pindah, tetapi perpindahan
itu disesuaikan dengan rencana reboisasi Departemen Kehutanan.
Kebijakan itu diambil oleh pemerinah agar tidak terjadi lagi penebangan
hutan secara liar, sehingga ekosistem dan kelestarian lingkungan tetap
terpelihara.