Membaca Cikal Bakal Pemilihan Pimpinan di Desa



Pemerintah Desa Merupakan  lembaga pemerintah yang bertugas mengelola wilayah tingkat Desa. Menurut UU Lembaga Desa  ini diatur dalam ketentuan pasal 216 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Oleh karena itu, lembaga pemerintahan desa juga dilindungi hukum.
Setiap wilayah pemerintahan pasti akan dipimpin oleh mereka yang terpilih dan untuk melaksanakannya, pemerintahan desa tersebut yang dipimpin kepala desa. Tugasnya tertuang dalam paragraf 2 pasal 14 ayat (1) yang berisi kepala desa yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, serta kemasyarakatan.
Lalu kapan awal mula pemilihan kepala desa itu terjadi di Indonesia? Pertnyaan itu tersirat  dalam fikiran saya, dan seperti bisa saya membuka beberapa referensi dari berbagi literatur yang tersebar secara daring
Jika kita buka Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 2014 atau disebut UU Desa, bisa di lihat gambaran umum tetang Desa. Dasar Pemikiran Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 "Zelfbesturende landschappen" dan "Volksgemeenschappen", seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.

Kemudian kita masuk ke penjelasan di Asas Pengaturan UU Desa, ada rekognisi yaitu Pengakuan terhadap asal usul, ada subsidiaritas yaitu kewenangan bersekala lokal,ada juga keberagaman, kebersamaan,gotong royong, kekeluargaan, dan lainya

Jika Desa saja diakuai sebelum adanya NKRI berarti instrumen Demokrasi tingak akat rumput (grass root) atau Pilkades Juga sudah terjadi sebelum NKRI ini ada. Hal ini bisa di perkuat dengan beberapa litarur yang meceritakan proses pemilihan Kepala Desa melalui adat yang saat ini mungkin saja masih terjadi di Indonesia

Jika bicara asal usul, bisa jadi awal mula desa itu hanya dihuni oleh beberapa keluarga saja,dengan berjalannya waktu populasi penduduk semakin banyak, ditambah dengan banyaknya orang luar keluarga yang juga menetap dalam sebuah lingkungan tersebut baik melaui jalan pernikahan ataupun dalam kerjasama ekonomi sosial.

Dalam tradisi jawa,biasanya dalam satu komunal atau komuitas manusia yang berada dalam ruang lingkup tertentu, harus mengangkat satu pimpinan atau penepuluh ada juga yang menyebut buyut jika proses pemilihannya berdasarkan usia. Jika pemilihan pemimpin berdasarkan orang yang pertama berdomisili di kawasan tersebut, sebutannya adalah Danyang.
Penamaan tersebut bisa saja berbeda di daerah lain tergantung asal usul dan kearifan lokalnya.

Dalam perkembangannya, nama pimpinan pun berubah tergantung jumlah penduduk, diantaranya ada yang di sebut Penatus jika mempimpin 100 Keluarga, ada juga Panewu jika memimpin lebih dari 1000 Keluarga. Proses pemilihannya pun melalui musyawarah mufakat dengan syarat calon pimpinan harus masuk usia yang layak, mampuh berbicara di hadapan orang banyak, mempunyai pengalaman dan kesaktian. Adapun tugas dari para pemimpin ini adalah tanggungjawab terhadap keamanan jiwa raga dan harta para warga yang ia pimpin.

Model ini kemudian diubah pada jaman Belanda, tepatnya pada masa Thomas Stanford Rafles (1811-1816), yang mengeluarkan dan mengubah mekanisme tata cara Pilkades yang tidak lagi dipilih secara musyawarah dan mufakat dan diikuti kepala keluarga saja, tetapi dipilih secara langsung oleh seluruh penduduk desa yang telah dewasa dan dianggap cakap hukum.
Model Pilkades yang paling sederhana pada jaman penjajahan Belanda adalah dengan cara masing-masing pemilih dan pendukung calon kepala desa membuat barisan adu panjang ditanah lapang. Calonnya adalah orang yang telah mendapat persetujuan wedana dan asisten wedana (camat) serta kontrolir (pejabat pengawas pemerintah Belanda). Kepala desa terpilih adalah berdasarkan panjang barisan pemilih atau pendukungnya.
Menurut Sejarawan Universitas Terbuka, Effendi Wahyono, model Pilkades ini ternyata sangat rumit dan koruptif. Mereka umumnya menyuap wedana atau asistennya agar lolos sebagai cakades. Selama dua atau tiga bulan menjelang pemilihan, mereka harus "membuka meja" setiap malam. "Buka meja" merupakan istilah untuk jamuan umum berupa makan, minuman, dan rokok untuk warga desa. Warga desa dapat mengunjungi rumah para calon yang telah membuka meja untuk makan dan minum. Selesai di satu calon, mereka dapat mengunjungi rumah calon lain untuk melakukan hal yang sama.
Untuk mensukseskan hajatnya untuk menjadi Kepala Desa, para cakades dibantu oleh gapit (penyebutan tim sukses calon kepala desa /cakades) dalam memobilisasi pemilih. Gapit ini menjadi mesin politik yang harus dibangun secara mandiri oleh cakades dengan memanfaatkan unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat desa. Terkadang peran gapit, lebih menentukan kemenangan daripada sosok cakades itu sendiri.
Pada perkembangannya, model pemilihan ini dianggap rawan dan menimbulkan konflik horisontal secara terbuka antar pendukung cakades, yang pada prosesnya pilkades dilaksanakan dengan pemilihan langsung secara tertutup. Pemungutan suara dilaksanakan dengan menggunakan biting (lidi) yang diberi tanda khusus oleh panitia yang dimasukan ke dalam bumbung (berfungsi sebagai kotak suara yang dibuat dari bambu) yang diletakkan didalam bilik tertutup. Jumlah bumbung disesuaikan dengan jumlah calon yang ada. Masing-masing bumbung ditandai dengan simbol berupa hasil bumi atau palawija, misal padi, jagung, dan seterusnya.
Setiap pemilih yang menggunakan hak pilihnya menerima satu biting dan kepala desa terpilih ditentukan berdasarkan jumlah biting terbanyak diantara semua bumbung. Jika terdapat calong tunggal maka disediakan dua bumbung di dalam bilik pemungutan suara yaitu bumbung dengan simbol cakades yang ada dan satu bumbung lagi tanpa simbol apapun yang disebut “bumbung kosong". Jika hasil penghitungan biting dari “bumbung kosong” jumlahnya lebih banyak berarti calon tunggal tadi kalah dengan “bumbung kosong” dan dia dinyatakan tidak terpilih.
Setelah Indonesia merdeka, Pilkades sudah mengalami peningkatan yaitu dengan menggunakan pemilihan tertutup dalam bilik suara dengan menggunakan kartu suara. Karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa membaca (angka buta huruf masih tinggi), maka cakades tetap diidentidaskan dengan gambar hasil bumi atau palawija. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya menerima satu lembar kartu suara kemudian membawanya kedalam bilik tertutup dan mencoblos gambar salah satu calon yang dikehendakinya. Hasil penghitungan suara, calon yang mendapat suara terbanyak itulah yang terpilih sebagai kepala desa.
Di era reformasi sekarang ini, model pemilihan kepala desa mengalami perkembangan yaitu menggunakan kartu suara berisi foto dan nama cakades. Pemilih dalam menggunakan hak pilihnya harus mencoblos foto cakades yang dipilihnya. Hasil penghitungan suara masih sama dengan cara sebelumnya yaitu calon yang memperoleh suara terbanyak itulah pemenangnya.
Mekanisme ini kemudian diatur dalam pasal 31 UU Desa, bahwa pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak diseluruh wilayah kabupaten/kota. Untuk memperkuat aturan tentang UU Desa ini, maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.112 Tahun 2014 yang secara khusus mengatur tata cara Pilkades.
Pada prosesnya, Permendagri ini kemudian diubah melalui Permendagri Nomor 65 tahun 2017 Tentang Perubahan atas Permendagri No 112 Tahun 2014 Tentang Pilkades yang mengubah dan menghapus beberapa hal yang ada di Permedagri lama. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 128/PUU-XIII/2015 yang mengkabulkan beberapa tuntutan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang menguggat penghapusan mengenai 'terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran' yang diatur Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU Desa.