Revolusi Hijau, Racun, dan Kemusnahan Kemandirian Pertanian

Konflik antar negara yang menyebabkan meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II merupakan salah satu alasan mengapa Revolusi Hijau muncul. Perang tersebut menjadi penyebab hancurnya lahan-lahan pertanian. Kondisi tersebut membuat pasokan kebutuhan makanan dunia mengalami defisit yang signifikan.
Hadirnya Revolusi Hijau juga menjadi bagian dari perkembangan sektor pertanian, baik berupa alat pertanian, rotasi tanaman, serta irigasi. Masa transisi tersebut melalui proses panjang hingga masuk ke wilayah Afrika dan Asia, termasuk Revolusi Hijau di Indonesia.
Sejarah Revolusi Hijau diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968. Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat, ini membandingkan masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu.
Perubahan di bidang pertanian yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya karena pertambahan jumlah penduduk berbanding terbalik dengan kapasitas produksi gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan beberapa lembaga besar lain.
Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor gandum ke negara lain.
Karena perubahan itu dianggap berhasil maka Ford Foundation dan Rockefeller Foundation kemudian membawa teknologi yang sama ke berbagai dunia. Kalau di Meksiko mereka fokus pada gandum, maka di belahan dunia lain mereka fokus pada padi.
Salah satunya dengan mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari pusat riset padi ini lahir padi varietas baru bernama International Rice (IR) seperti IR 64 dan IR 36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia. Produk mereka inilah yang menjangkau hampir separuh penduduk dunia dan kemudian menggantikan padi lokal, termasuk di Indonesia.
IRRI yang punya kantor perwakilan di 14 negara mulai bekerjavsama dengan Indonesia pada tahun 1972, melalui Balai Litbang Pertanian Departemen Pertanian (Deptan). Deptan yang seharusnya jadi kepanjangan tangan pemerintah ternyata kemudian hanya jadi kepanjangan tangan korporasi dan lembaga internasional.
selanjutnya, pada awal tahun 1970, negara-negara di dunia mulai memperhatikan bagaimana cara untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Langkah ini dimulai dengan pembentukan Consultative Group on International Agriculture Research (CGIAR).
CGIAR dibentuk untuk tujuan memberikan bantuak kepada berbagai pusat penelitian internasional, seperti International Rice Research Institute di Filipina dan International Maize Wheat Improvement Centre (IMWIC) di Meksiko.
Di tahun yang sama, Norman Borlaug mendapat penghargaan nobel karena kontribusinya dalam menggagas Revolusi Hijau. Ia berkontribusi melalui penemuan tanaman biji-bijian yang cocok untuk mengubah energi matahari menjadi karbohidrat padat tanah subur serta tahan terhadap serangan hama penyakit.
Mulai saat itu, revolusi bidang pertanian ini mulai meluas, terutama masuk ke wilayah yang dahulunya merupakan daerah berkembang dan kerap mengalami kekurangan pangan.
Perubahan dalam bidang pertanian di dunia juga berdampak terhadap Indonesia, salah satunya adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Revolusi Hijau juga menjadi proyek utama pada masa Orde Baru untuk memacu hasil produk pertanian dengan menerapkan teknologi modern.
Revolusi Hijau dianggap sebagai jawaban akan tantangan ketersediaan pangan yang diprediksi akan terus meningkat. Meski telah dimulai sejak tahun 1970-an, dampaknya baru mulai dirasakan pada masa 1980-an.
Pemerintah Indonesia mendorong penanaman padi, pemakaian bibit impor, penggunaan pupuk kimia, pestisidan dan sebagainya. Hingga pada akhirnya pada tahun 1990-an Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Akan tetapi pada tahun yang sama pula, para petani mulai mendapat serangan hama, serta mengalami kemerosotan kesuburan lahan. Selain itu penggunaan pupuk dan pestisida sudah tidak lagi manjur, serta harga gabah diatur oleh pemerintah.
Bahan kimia yang digunakan untuk lahan pertanian menimbulkan kerusakan pada struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan-bahan pestisida yang sebelumnya berhasil meningkatkan produksi pertanian justru merusak ekosistem dan habitat hewan-hewan yang menguntungkan karena menjadi predator alami hama-hama tertentu. Pestisida juga menyebabkan imunitas pada beberapa hama.
Lambat laun kerusakan ekologi seakan tak terhindarkan dan produksi pangan kembali menurun serta ongkos pertanian cenderung meningkat. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan produksi tidak lagi efisien dan menurunkan minat masyarakat dalam sektor pertanian.
Meski berhasil meningkatkan produksi gabah di Indonesia, akan tetapi Revolusi Hijau juga berakibat sebagai berikut:
  • Musnahnya organisme penyubur tanah
  • Kesuburan tanah menurun dan menjadi tandus
  • Tanah mengandung resido akibat endapan pestisida
  • Hasil pertanian mengandung bahan kimia pestisida
  • Ekosistem rusak dan tidak lagi seimbang
  • Terjadi ledakan serangan hama dan penyakit
Bahkan Revolusi Hijau juga mengunga hakekat para petani. Petani yang semula mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara mandiri, kemudian berubah menjadi petani yang tidak boleh mengembangkan benih sendiri.
Bibit yang disediakan adalah hasil rekayasa genetik dan memiliki ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia. Karena terlalu menggantungkan tanaman pertanian terhadap bibit unggul tersebut, sekitar 1.5000 varietas padi lokal punah dalam kurun 15 tahun terakhir.
Padahal dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1992 disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah).
Pemerintahan Orde Baru menjadikan Revolusi Hijau sebagai tolak ukur keberhasilan dalam bidang pertanian. Meskipun faktanya terjadi peningkatan produksi, namun juga menyebabkan penderitaan bagi kaum petani. Alam dan lingkungan pun turut terkena dampaknya, yaitu kerusakan sistem ekologi pertanian yang tidak dapat dihitung dengan uang.

Revolusi Hijau yang dikembangkan berdasarkan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, meliputi genetika dan kimia terapan dikhawatirkan di masa depan akan merusak sistem pertanian itu sendiri.
Indonesia mulai menerapkan Revolusi Hijau itu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah melaksanakannya melalui pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) pada 1964. Bimas dimulai setelah pemerintah mengadakan pilot project pada lahan 100 hektar di Karawang, Jawa Barat setahun sebelumnya.
Karena Bimas dianggap kurang berhasil, pemerintah membuat Bimas Gotong Royong yang disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian.
Dua perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk, dan pestisida. Revolusi Hijau hanyalah kedok agar produk-produk kimia perusahaan tersebut, terutama CIBA, bisa dijual pada petani.
Agar petani mau menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani. Salah satu contoh bentuk kredit Bimas pada tahun 1981 adalah dengan memberikan kredit 250 kilogram pupuk kimia, 2 liter insektisida, dan uang kontan Rp 10.000 dengan bunga 1,5 persen sebulan. Pinjaman ini diberikan dalam satu masa tanam selama sekitar tujuh bulan.
Tapi, kredit ini pun dilakukan dengan paksaan. Petani berhadapan dengan tentara jika mereka menolaknya.
Kredit yang diberikan pemerintah memang kemudian jadi alat penting untuk memasukkan program pembangunan pertanian yang disebut juga dengan nama Intensifikasi Pertanian. Selain melaksanakan Bimas yang berganti-ganti nama sejak 1966 hingga 1985, pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Tani (KUT).
KUT ini sendiri jadi catatan bahwa kredit untuk petani sudah terbukti gagal. Salah satu riset M Syukur dan teman-temannya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa penyaluran KUT selama 1990 hingga 1996 mengalami penurunan dari Rp 108 milyar jadi Rp 34 milyar. Ketika uang yang disalurkan mengalami penurunan, jumlah uang macet alias tunggakan petani justru meningkat.
Toh, pemerintah tetep keukeuh terus melaksanakan kredit untuk petani dengan alasan agar petani bisa meningkatkan hasil pertanian. Revolusi Hijau seperti membutakan mata pemerintah. Inilah yang membuat banyak pihak menduga bahwa pemerintah sebenarnya ada kesepakatan tertentu dengan perusahaan pertanian agar tetap melaksanakan program intensifikasi pertanian, kedok lain dari Revolusi Hijau.
Pada perjalanannya, Revolusi Hijau kemudian hanyalah jadi alat perusahaan pertanian untuk menjerat petani, termasuk di Indonesia. Ini terutama ketika perusahaan-perusahaan besar seperti Monsanto dan Syingenta juga masuk di Indonesia.
Parahnya ini didukung pula oleh akademisi. Pilot project padi di Karawang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyuluhan ke desa-desa dilakukan pula oleh mahasiswa dan dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Secara sederhana, pola penyebaran Revolusi Hijau di Indonesia itu dilakukan sebagai berikut. Pertama, lembaga riset membuat penelitian tentang apa saja teknologi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Riset ini didukung oleh akademisi sebagai peneliti dan perusahaan kimia serta lembaga donor sebagai penyokong dana.
Kedua, setelah riset dinyatakan berhasil, sponsor penelitian tersebut seperti CIBA dan Ford Foundation menyebarluaskannya ke negara-negara berkembang agar mengadopsi teknologi baru itu. Tentu saja dengan dukungan finansial juga. Dalam kasus di Indonesia, pemerintah kemudian membentuk tim pelaksana yang dilegitimasi tentara.
Ketiga, untuk kepanjangan tangan dari pemerintah ke petani ada petugas penyuluh lapangan (PPL). Di lapangan, PPL ini juga bertugas ganda. Selaian sebagai penyuluh yang mewakili pemerintah, mereka juga mengenalkan produk-produk perusahaan pertanian mulai benih sampai pestisida. Namun dalam praktiknya, PPL ini justru identik sebagai agen perusahaan pertanian.
Lalu di mana posisi petani? Mereka hanya dianggap sebagai ikan yang harus dijaring.
Petani tidak perlu diajak untuk membicarakan apa yang mereka perlukan. Pokoknya berikan asupan kimia dan haruskan mereka untuk menggunakannya. Kalau tidak mereka harus berhadapan dengan tentara seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Atau setidaknya aparat desa akan mencabuti tanaman lain selain yang ditetapkan pemerintah. Tidak ada pilihan bagi petani.
Pola pemaksaan di Bali lain lagi. Kalau di Jawa melalui tentara, maka di Bali melalui lembaga seperti subak. Biasanya kelian (pemimpin) subak setempat yang “dipelihara” perusahaan pertanian. Ketika kelian sudah bisa dikendalikan, maka otomatis anggota subak yang lain akan menuruti kemauan kelian. Bila melawan, subak secara kelompok akan memberi sanksi misalnya dengan memutus aliran air ke sawah mereka.
Dengan asupan kimia dan teknologi baru, Revolusi Hijau memang terbukti meningkatkan produksi pertanian terutama padi. Salah satunya adalah ketika Indonesia tak lagi mengimpor beras karena sudah memenuhi swasembada beras pada 1984. Jika pada 1972 produksi padi sebesar 20 juta ton dengan produktivitas 3,21 ton per hektar, maka pada tahun 1984 jadi 38,14 juta ton dengan produktivitas 3,91 ton per hektar. Dari yang semula mengimpor beras sebanyak 2,5 juta ton per tahun, pada tahun 1984, Indonesia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.
Peningkatan produksi padi itu terus terjadi hingga awal 1990. Setelah itu, produksi padi menurun terus. Menurut Badan Pusat Statistik pertambahan produksi padi nasional era 1974-1980 sebesar 4,8 persen per tahun sedangkan pada 1981-1990 sebesar 4,35 persen. Namun pada 1991-2000 turun jadi 1,32 persen. Pada 2005, produksi padi juga menurun 1,75 persen dari 54,06 ton pada tahun 2004 jadi 53,12 juta ton.
Inilah faktanya. Ketika intensifikasi pertanian terus digenjot, hasil yang dicapai ternyata malah berbanding terbalik. Produksi padi terus menurun.
Salah satu kambing hitam dari turunnya produksi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang terlalu intensif. Penggunaan bibit baru justru melahirkan hama baru bagi padi. Menurut Raka, setelah petani menggunakan varietas baru, muncul pula hama-hama baru yang sebelumnya tidak ada. Ini pula yang dialami berbagai petani di Bali.
Nah, hama baru ini pun harus diberantas dengan pestisida baru yang dijual perusahaan obat-obat pertanian. Ini mirip satu paket masalah. Semuanya baru: benih, teknologi, hama, dan pestisida. Parahnya lagi lama-lama hama wereng yang diberantas jadi kebal terhadap pestisida yang dipakai oleh petani..
Di antara sekian dampak tersebut, kerusakan lingkungan memang yang paling terasa. Petani di banyak tempat mengaku kalau tanah mereka semakin keras, unsur haranya hilang, hewan kecil di sawah makin punah, produksi semakin turun dan seterusnya.
Tapi kerusakan tak hanya terjadi pada lingkungan. Intensifikasi pertanian juga ibarat menebar racun pada petani.
Dalam salah satu artikelnya, Staf Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan Kusnindar menemukan bahwa keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Kusnidar melakukan riset tersebut pada tahun 1989 atau 20 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan pada banyaknya kasus keracunan yang pernah terjadi pada 1985-1986 seperti di di Brebes 85,7 persen, Klaten 54,8 persen, Karo Sumatera Utara 38 persen, dan termasuk Bali.
Dari rata-rata kasus di atas diperoleh angka 35 persen petani yang menyemprot pestisida akan keracunan. Menurut Kusnidar pula jumlah petani penyemprot sekitar 37 persen dari jumlah petani. Di sisi lain, per 2007 lalu, berdasarkan catatan Departemen Pertanian jumlah petani Indonesia sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 110 juta.
Dengan perkiraan jumlah petani penyemprot adalah 37,1 persen, maka jumlah petani yang rentan terpapar pestisida sebanyak 40 juta orang. Jika 35 persen petani terpapar pestisida mengalami keracunan, maka jumlah petani yang mengalami keracunan kira-kira 14 juta orang.
Contoh lebih ekstrem terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan pemeriksaan darah pada 550 petani sayur di tujuh kecamatan, diperoleh fakta bahwa 99 persen petani sudah tercemar darahnya. Penyebabnya adalah penggunaan zat kimia pembasmi hama. Hasil ini diperoleh pada tahun 2006 lalu.
Penelitian ini dilakukan setelah sebelumnya 10 petani di kabupaten yang sama meninggal akibat keracunan pestisida.
Astrid Widajati Sulistomo, doktor lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meneliti petani bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah juga menemukan bahwa petani perempuan yang menggunakan pestisida lebih rentan mengalami keguguran. Penelitian pada tahun 2007 dengan responden 612 petani ini menemukan fakta bahwa petani perempuan pengguna pestisida berisiko mengalami keguguran sebesar 79 persen lebih tinggi dibanding perempuan yang bekerja di ladang pertanian lain.
Keracunan akibat pestisida sebenarnya hal yang pasti terjadi. Hal ini terjadi karena pemain-pemain besar di bidang Revolusi Hijau pada dasarnya memang perusahaan-perusahaan kimia. CIBA, yang mendukung masuknya Revolusi Hijau di Indonesia adalah anak perusahaan BASF, produsen bahan-bahan kimia.
Sampai sekarang pun situasinya tak jauh berbeda. Perusahaan benih yang paling besar di Indonesia adalah PT Benih Inti Subur Intani (BISI). Melalui PT Tanindo Subur Tani, PT BISI yang merupakan kepanjangan tangan dari Monsanto Corp, memproduksi benih padi, sayuran, dan jagung. Mereka juga memproduksi pestisida dan pupuk.
Sekadar mengingatkan. Monsanto, penguasa 88 persen benih di dunia, adalah perusahaan yang juga menjerat petani jagung di Nganjuk Jawa Timur pada tahun 2005 dengan tuduhan meniru teknologi pembenihan mereka. Perusahaan yang berpusat di Amerika ini pula yang memaksa petani di Bulukumba Sulawesi Selatan untuk menanam kapas jenis Bt yang terbukti merugikan petani pada 2001.
Di luar itu kejahatan paling parah dari Monsanto adalah karena dia juga memproduksi agent orange, senjata mematikan yang digunakan tentara Amerika Serikat ketika Perang Vietnam. Bersama lima perusahaan lain, Monsanto memproduksi senjata kimia yang mengakibatkan kanker dan cacat bawaan ini. Ribuan tentara yang pernah menyebarkan obat ini terkena kanker, tumor, dan seterusnya.
Kini agent orange menyebabkan ratusan ribu bayi yang baru lahir sudah mengalami cacat bawaan seperti bisu dan tuli.
Bisa dibayangkan, ternyata pabrik pembuat racun bernama agent orange ini pula yang memproduksi benih dan pestisida yang banyak digunakan petani di Indonesia.
Selain Monsanto, korporasi yang juga menguasai pertanian Indonesia adalah Syngenta dan Dupont.
PT Syngenta menguasai sekitar 15 persen pasar pestisida Indonesia dengan memproduksi 15 juta liter pestisida mereka per tahun. Produksi herbisida, fungisida, dan insektisida mereka terus naik 5 persen tiap tahun. Perusahaan milik Syngenta Corp ini adalah perusahaan pestisida terbesar kedua di Indonesia setelah PT Bayer Crop Science.
Dengan jumlah petani yang mencapai sekitar 110 juta orang, maka Indonesia pun jadi pasar yang menggiurkan bagi korporasi-korporasi tersebut.
PT DuPont International, misalnya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi pestisida untuk pasar Asia Tenggara. Berbagai pestisida pertanian ini akan diproduksi di dua pabrik DuPont di Sidoarjo dan Pasuruan Jatim. Alasannya, Indonesia memiliki potensi pasar besar dengan total lahan pertanian seluas 11 juta hektare.
Dengan semua produk kimia itulah, korporasi-korporasi tersebut menjerat petani Indonesia. Dari yang semula mandiri, mengandalkan asupan alam mereka kemudian tergantung pada produk-produk kimia yang dipasarkan korporasi. Setelah tergantung pada asupan kimia, para petani baru sadar bahwa mereka terjerat.
Dari Berbagai sumber