Mustahilnya Positivisme



Materialis meyakini ke-real-an materi, bahkan kekekalan materi, dan tak percaya adanya hal - hal yang immaterial. Sebaliknya rasionalis, dengan menerima prinsip-prinsip niscaya rasional seperti prinsip non-kontradiksi dan kausalitas, percaya adanya hal - hal yang immaterial. Di antara kedua kutub ini terdapat segolongan besar manusia yang selalu dalam keadaan ragu-ragu (syak) dan tidak pernah bisa yakin. Jelas tidak mungkin untuk meyakini hal - hal immaterial apa pun, apalagi Tuhan, jika seseorang masih terkadang terombang-ambing oleh gelombang materialisme. Alladziina yu`minuuna bil-ghoib .... Percaya kepada yang ghaib tidak mungkin didirikan jika jiwa masih tergoyah oleh materialisme. Demikian materialisnya sebagian orang sehingga walaupun jelas dalam Qur’an disebutkan  Wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil-wariidi (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya), mereka melakukan maksiyat - maksiyat seolah Tuhan itu tak ada. Mendasarkan dirinya pada epistemologi positivisme, sebagian besar materialis akan terjebak ke dalam aksiologi pragmatisme dan praxisme ala Francis Bacon,  yang menganggap tidak perlunya mempelajari apa pun  kecuali yang memberikan manfaat material langsung pada kita. Dan sesuai dengan watak kegelapan materi, mereka akan terjebak pada hedonisme yang musti berakhir dengan nihilisme. Apa itu nihilisme? Semuanya nihil dan kosong. Setelah hidup, mati dan titik. Akhir semuanya adalah kegelapan, ke-tidaktahu-an mutlak “Dari mana, untuk apa dan ke mana manusia dalam kehidupannya”, dan kengerian hidup yang tak berarti. 


Akar materialisme modern dan post-modern adalah faham empirisme dan positivisme. “ Tidak ada pengetahuan atas sesuatu yang tidak bisa diukur.”  Demikian ungkapan terkenal  Lord Kelvin yang merupakan hakikat empirisme. Anak empirisme, - yang jauh lebih ekstrim lagi-, adalah positivisme logik. Belajar di lingkungan Wina (Der Weiner Kreis) dari Moritz Schilck dan Rudolf Carnapp,  Alfred Jules Ayer, - tokoh positivisme logik yang mengakui bahwa gagasan dalam bukunya merupakan jabaran dari ajaran Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein-, mengatakan, “Suatu cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisa atau dapat ditasdik secara empirik”.  Berlindung di balik keberhasilan sains modern pasca-Renaisance-yang berpuncak pada karya Newton “Principia”,  John Locke, George Berkeley maupun David Hume telah meletakkan dasar-dasar bagi empirisme maupun positivisme, yang kemudian mempengaruhi Ayer, Russel, Wittgenstein dan banyak filosof modern maupun pasca-modern. 


Doktrin empirisme dan positivisme bersandar pada beberapa proposisi dasar berikut ini.

1. Pengalaman inderawi adalah sumber pertama pengetahuan manusia, dan tidak ada pengetahuan rasional apa pun yang mendahului pengalaman.

2. Pengalaman inderawi adalah asas satu-satunya untuk menegaskan (men-tashdiq, to assent) kebenaran suatu proposisi. (Dalam bentuk ekstrimnya, suatu proposisi dianggap mempunyai makna jika ia dapat ditasdik secara empirik)

3. Suatu proposisi, jika mungkin mencapai pengalaman inderawi yang memberi petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti itu, mempunyai arti dan perlu dibahas.


Jelas proposisi-proposisi ini mustahil  Buktinya? Terlalu banyak. Tapi di sini akan diberikan beberapa bukti yang cukup simpel.


Pertama, karena dalam pengamatan pengalaman apa pun, mau tidak mau kita mesti menerima prinsip non-kontradiksi terlebih dahulu, sehingga kita bisa mengidentifikasi bahwa A=A, dan A bukanlah bukan A. Tanpa menerima prinsip ini terlebih dahulu, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, tidak mungkin mengidentifikasi semua pengalaman indera, sehingga semua pengalaman indera kehilangan maknanya.


Kedua, pengalaman inderawi kehilangan seluruh makna obyektifnya tanpa menerima terlebih dahulu prinsip kausalitas. Apa yang diterima mata adalah image / bayangan, bukan benda yang dilihatnya sebagai dirinya sendiri. Prinsip kausalitaslah yang memberikan suatu relasi antara image dengan benda sebenarnya, bahwa image adalah suatu akibat yang disebabkan oleh benda yang dilihat.` Tanpa menerima prinsip kausalitas, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, seluruh penangkapan image indera kita tidak memestikan apa pun tentang apa yang diindera !


Ketiga, bahkan pengalaman inderawi saja tidak mampu mentahkik (membenarkan, menegaskan) adanya materi. Karena seperti yang dikatakan tadi, tanpa prinsip kausalitas, hasil pengalaman indera tak lain hanya kesan-kesan subyektif yang tidak menunjukkan adanya apa pun yang diindera.


Keempat, dan bagaimana mungkin pengalaman inderawi membuktikan kesalahan inheren pada penginderaan dengan dirinya sendiri ? Apa beda oase fata morgana dengan oase  sejati bagi indera penglihatan kita? Bagaimana mungkin sesuatu yang mungkin salah mem-benar-kan (men-tashdiq) kebenaran dirinya sendiri?


Kelima, sehingga bagaimana mungkin semua eksperimen dilakukan?  Jika keberadaan materi saja tidak mampu ditahkik dan kesalahan inheren tak bisa teratasi. 


Keenam, dan bahkan bukankah semua proposisi yang dinyatakanp tersebut tidak dapat diindera ? Sehingga jika mereka termasuk pengetahuan primer (sumber pengetahuan), maka karena  proposi pertama mempersyaratkan  keter-indera-an sumber-sumber pengetahuan, jelas menurut dirinya sendiri seluruh proposisi ini bukan pengetahuan primer. Atau pun, jika mereka merupakan suatu pengetahuan yang perlu di-tashdiq, proposisi kedua meniadakam kemungkinan untuk men-tashdiq ketiga proposisi ini. Dan, mari kita persilahkan para positivis menjelaskan kemungkinan membenarkan  untuk melakukan suatu eksperimen untuk menguji kebenaran ketiga proposisi ini berdasarkan proposisi ketiga? 


Ada satu pertanyaan yang penting, mungkin. Kenapa mereka terjebak ke dalam pemikiran se-naif itu? Suatu analisa historis pra-Renaisance membuat saya, -yang bodoh dan hina ini-, memberanikan diri untuk membuat satu hipotesis sederhana. Pemahaman dogmatis keagamaan Eropa pra-Renaissance yang menekan akal manusia dan kemanusiaan membuat akal manusia mencari kemerdekaan dirinya pada zaman Renaissance dengan semangat anti-agama, sebagaimana sebelumnya “agama” telah menegaskan otoritasnya yang mutlak dan memojokkan “akal”.  Dan ini adalah akar dari sekularisme ?